Sidang akhir masa jabatan untuk para Pimpinan dan Anggota Parlemen baru saja selesai digelar. Acaranya lancar dan tidak ada kendala yang berarti, meskipun tadi sempat terjadi kegaduhan di jagad maya perkara siapa yang membacakan doa pada sesi penutupan sidang. Tetapi, sejauh ini sidang berjalan kondusif.
Sementara itu demo mahasiswa masih saja berlangsung di luar. Bahkan tiga hari lalu demo sempat pecah yang berakhir anarkis. Polisi menembakan gas air mata dan menyemprotkan water canon bertubi-tubi ke arah para demonstran. Saking bertubi-tubinya hingga asap gas air mata masuk ke gedung perkantoran. Segala aktivitas kantor dihentikan karena para pegawai panik. Mungkin takut tragedi tahun 1998 terulang kembali.
Mereka pun menyaksikan siaran langsung di berita-berita di TV terkait aksi demo di depan gedung kantor mereka untuk mengantisipasi situasi. Dikabarkan ada beberapa demonstran yang mulai anarkis dengan mendorong-dorong pagar gerbang hingga tak pelak bentrok dengan polisi terus terjadi berulang.
Di tengah kepanikan para pegawai, Ayunda mendapati pesan masuk ke e-mail-nya dari Nando. Satu tangannya yang ditarik oleh Novi untuk mengajaknya keluar ruangan karena ingin menghindari asap yang semakin masuk, ia tahan hingga mereka berdua berhenti.
“Sebentar, Mbak!” pinta Ayunda.
“Apa lagi? Ini udah bikin mata perih begini,” balas Novi.
“Ada e-mail masuk—”
“Aduh! Entar aja deh, Yun! Keluar dulu. Mata gue pedes banget, beneran!”
Ia pun menurut. Lagipula matanya pun terasa sangat perih hingga berair. Gas air mata ini sungguh menyiksanya.
Beberapa pegawai terpaksa naik ke rooftop lantai 10 untuk mendapatkan udara. Dari ketinggian itu pula mereka dapat melihat dengan jelas aksi demo anarkis yang terjadi di gerbang depan. Semuanya tampak chaos dengan suara teriakan para mahasiswa yang beradu dengan tembakan gas air mata di udara.
Di tengah isakkan hidungnya yang terasa sangat pedas dan matanya yang berair, Ayunda takjub melihat pemandangan itu. Demo-demo yang kerap kali ia lihat di berita-berita di TV itu nyatanya benar-benar ada dan ini menakutkan.
“Itu bakalan jebol nggak sih gerbangnya?” tanya Ayunda.
“Tergantung sih. Kalau mereka banyak dan kuat, bisa jadi tuh gerbang jebol. Tapi kan ada beberapa lapis petugas polisi yang jagain. Kalau dibandingin sama demo tahun 98 kayaknya ini masih level cetek,” jawab Novi.
“Hah? Segini tuh level cetek? Apa kabar yang sampai bentrok dan berdarah-darah?”
“Eh tapi selama gue kerja di sini, demo-demo yang terjadi tuh selalu tertib aja. Baru ini deh kayaknya yang sampe rusuh. Semoga nggak sampe ngerusak deh.”
“Ngeri sih, Mbak.”
“Iya nih. Mana nyokap udah nelponin mulu dari tadi nanyain kondisi. Pasti khawatir banget. Kalau nanti bisa pulang cepat siang-siang, kita pulang aja, Yun. Ngeri. Apalagi lo pulang naik kendaraan umum kan?” usul Novi.
“Tapi … kerjaan kita—”
“Pentingin dulu keselamatan diri. Lagian jadwal Pimpinan yang kemarin diminta Bu Bos juga belum ada kan?”
Ayunda langsung teringat akan pesan masuk di e-mail-nya dari Nando tadi. Ia pun membuka e-mail dari ponselnya.
“Lo udah minta jadwalnya ke mereka belum?” tanya Novi di tengah-tengah Ayunda mengecek e-mail.
“Aku minta ke anak Protokol sih kemarin.”
“Yeee. Anak Protokol mah mana punya. Lo harusnya nanya ke masing-masing sekretaris.”
Tapi, begitu Ayunda berhasil membuka pesan dari Nando, semua jadwal Pimpinan yang ia tanyakan lengkap ada di sana. Ia pun langsung mengunduh file yang dilampirkan Nando.
“Tapi, Mbak, aku baru dapat jadwalnya ini.” Ayunda menyodorkan ponselnya yang menampilkan agenda lengkap kedelapan Pimpinan hingga H-1 pelaksanaan sidang.
Novi langsung menyambut ponsel itu dan mengamati isinya dengan saksama.
“Gila, canggih juga lo,” Novi takjub. Ia lalu mengecek isinya beberapa saat. “Kita kirim aja sekarang kali ya ke Bu Arien? Biar dia bisa atur jadwal-jadwal itu segera.”
Ayunda hanya mengangguk.
Hari-hari selanjutnya, di tengah-tengah demo yang masih berlangsung rusuh, mereka berusaha keras untuk tetap dapat menunaikan pekerjaan. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta ini merupakan upaya untuk menuntut dan mendesak pemerintah membatalkan revisi UU KPK, menunda pengesahan Rancangan Kitab UU Hukum Pidana, segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan kebijakan lainnya yang mengundang kontroversi.
Hingga pada hari pelaksanaan Sidang Akhir Masa Jabatan tanggal 27 September 2019, demo masih terus berlangsung. Bahkan sejak pecahnya demo tersebut pada 24 September lalu, pengrusakan masih kerap terjadi di sekitar gedung Parlemen. Gerbang depan yang tinggi menjulang dan kuat saja berhasil ambrol. Kekuatan massa ini mengerikan, batin Ayunda hingga bergidik.
Karena itulah, tak ingin semakin penat dengan segala macam kejadian hingga terasa waktu berjalan sangat lambat, Ayunda pun memutuskan untuk mencari hiburan sejenak. Setelah sidang selesai, siang-siang ia iseng main ke perpustakaan kantor. Sengaja ia hampiri rak fiksi dan mengambil beberapa komik serial cantik dan komik Conan. Ia pikir ia harus melakukan refreshing otak setelah kepenatan dan ketegangan menguras pikirannya.
Total tujuh komik ia pinjam.
“Bawa kartu anggotanya, Mbak?” tanya petugas perpustakaan.
“Yaaah. Saya nggak bawa, Mbak,” jawab Ayunda.
“Kalau masih pegawai sini sih nggak pa-pa kok nggak bawa kartu. Bisa dibantu sama nama aja.”
Ayunda tersenyum lega.
“Atas nama siapa?” tanya si petugas.
“Rachmania Ayunda,” ucapnya.