Tanggal 30 September, satu hari sebelum sidang awal masa jabatan digelar, demonstrasi masih terus berlangsung. Kini akses ke daerah Senayan mulai ditutup dari banyak jalur. Selain itu pemeriksaan terhadap orang-orang yang akan memasuki daerah Senayan juga diperketat. Dari mulai arah Semanggi hingga Jalan Asia Afrika, semua orang—yang bukan termasuk demonstran—diharuskan memperlihatkan identitasnya. Meskipun itu bukan masalah bagi pegawai Parlemen seperti Nando dan teman-temannya karena memiliki ID Card, tetapi hal tersebut membuat waktu terbuang cukup banyak. Selain itu jalanan menjadi sangat padat dan rame. Belum lagi petugas polisi yang berjaga hingga berlapis-lapis memadati area situ.
Beruntung Nando berangkat sangat pagi karena dirinya sudah biasa mengantisipasi hal-hal seperti ini. Ia sampai menyiapkan baju ganti dan perlengkapan pribadi lainnya untuk berjaga-jaga barangkali nanti situasi di kantornya tidak terkendali—akibat demo tersebut—maka ia akan menginap saja di kantor sampai esok hari.
Saat ia tiba di kantor, situasi lalu lintas di sekitar kantornya masih normal. Antrean kendaraan yang memasuki gedung kantornya pun belum terbilang padat. Entahlah bagaimana nasib teman-temannya jika datang lebih siang. Bahkan ada kemungkinan jalan menuju kantor akan diblokir kalau demonstrasi berlangsung ricuh dan anarkis seperti beberapa hari ke belakang. Hari Sabtu dan Minggu kemarin saja masih ada bentrokan, meskipun menurut berita di TV bentrokan yang terjadi adalah bentrokan antarwarga.
Setelah memarkir kendaraannya di parkiran belakang, ia berniat untuk sarapan terlebih dulu di kantin. Agak takjub juga sih ketika ia berpikir dirinya saja sulit menembus akses masuk ke kantor, tetapi ibu-ibu kantin sudah siap dengan berbagai macam menu masakan sepagi ini.
Di kantin ia bertemu Selbi, teman di satu bagiannya.
“Woi, Nan!” seru Selbi.
“Oi! Sama siapa?” balas Nando.
“Si Farhan, tuh lagi mesen kopi. Makan apaan?”
“Gue pesen buah potong sama bubur ayam. Hehehe.”
Selbi berdecak dan menggeleng. “Sangat menjalankan sunah Rasul sekali ya Pak Haji ini,” ledeknya.
Karena Nando habis menjalankan umrah, terus Nando juga dicap sebagai orang yang lumayan agamis—hanya terlihat dari dia selalu pergi ke masjid kantor saat waktu Zuhur dan Ashar aja sih—teman-temannya suka meledek dia dengan sebutan “Pak Haji”. Lalu karena dari beberapa artikel yang ia ketahui bahwa cara makan Nabi Muhammad itu adalah didahului dengan memakan buah-buahan sebelum makanan lain, jadinya Selbi menambahkan informasi itu untuk meledek Nando. Padahal mah agamis apaan, ngaji aja masih suka males-malesan.
“Bangke!” umpat Nando.
“Eh! Istigfar, Nan. Umpatan kayak gitu nggak bagus. Ayo coba istigfar. As-tag-firullah-aladziim. Ikutin gue.”
“Hahaha. Minta diselepet nih orang!”
Tak lama kemudian datang Farhan dan duduk bersama mereka.
“Udah nyampe aja lo pagi-pagi gini,” tanya Farhan.
“Ya abisnya keburu jalan diblokir sana-sini.”
“Terus mobil lo parkir di mana?”
“Di belakang masjid, deket gerbang kecil depan Palmerah.”
Satu per satu makanan pesanan mereka datang. Sambil mengobrol mereka pun menyantap makanan masing-masing.
“Hih, kenapa markir di situ? Rawan kena lempar batu kalo demonya pecah lagi,” respons Farhan.
“Wah bener tuh. Pas awal-awal bentrok itu kan mobil si Agni kena lempar batu dari luar gerbang depan Palmerah itu, pas banget parkir di belakang masjid. Satu kaca lampu depannya pecah,” timpal Selbi.
“Waduh, beneran?”
“Makanya mending pindahin ke parkiran dalam deh,” saran Farhan.
“Iya deh. Entar gue pindahin. Pantes sih kalau akses masuk daerah sini diperketat, mulai anarkis gitu.”
“Tapi yang gue salut nih ya, kita-kita aja susah bener kan mau masuk sini, eh tuh mbak-mbak pecel depan kantin udah ready, Bro, nangkring dari jam enam pagi,” celetuk Farhan.
Semuanya tergelak.
“Lo belum tahu aja, di balik baju Mbak Pecel kan ada HT yang nyambung ke earphone wireless di kuping dia. Setelah ngasih kembalian, tuh Mbak Pecel pasti ngomong sendiri bilang ‘Kijang satu aman!’,” balas Nando.
“Hahaha. Ternyata intel! Si bangke! Pantesan gampang pisan masuk sini!” pekik Farhan.
“Turun pangkat anjir dari tukang nasi goreng jadi jualan pecel,” respons Selbi sambil terbahak.
“Ekspansi bukan hanya untuk sektor bisnis aja sekarang, Sel. Sektor keamanan negara juga kudu bisa ekspansi,” ujar Nando ngasal.
“Amit-amit ih kagak ada faedah-faedahnya ini obrolan,” dumel Selbi tapi masih saja tertawa.
“Masa kudu melulu ngobrolin sidang sih,” protes Nando.
“Omong-omong, entar gladi bersih jam dua ya. Ngingetin aja ini mah gue,” ucap Farhan menyindir saking seringnya mereka diingatkan akan jadwal gladi setiap hari.
“Yeee! Kita juga kagak amnesia. Mustahil kita bisa lupa kalau setiap malam terus dikirimin broadcast di WA Group soal jadwal-jadwal gladi sampai sidang tiga hari ke depan. Ampe hapal di luar kepala gue,” gerutu Selbi.
Beberapa detik kemudian notifikasi pesan WA masuk ke ponsel masing-masing. Refleks mereka semua membaca pesan tersebut. Isinya adalah broadcast jadwal gladi kotor dan gladi bersih sidang nanti siang.
Tak pelak ketiganya terbahak berbarengan.