Gerbang mobil ternyata sedang dibuka meskipun tidak ada mobil yang keluar-masuk. Ia pun bergegas keluar dari sana. Tetapi arah ke Jalan Asia-Afrika ternyata ditutup. Polisi memasang kawat berduri sehingga tidak memungkinkan ada yang bisa melewatinya. Padahal Ayunda berencana melewati jalan Asia Afrika dengan berjalan kaki sampai Stasiun MRT Senayan di depan kantor Kemendikbud. Tetapi dirinya malah diarahkan ke arah sebaliknya.
Duh, nggak hapal jalan ke situ, batinnya. Karena terdesak ia pun menurut. Bersama orang-orang—yang ia tahu itu mahasiswa karena dilihat dari jaket almamater yang mereka pakai—ia pun berjalan menuju Stasiun Palmerah. Tujuannya saat ini adalah stasiun atau halte. Jurusannya ke mana saja dulu, yang penting ia bisa keluar dari Ring Satu ini.
Namun, sepertinya stasiun atau pun halte tidak ada yang beroperasi saat ini karena kerusuhan tepat terjadi di depan Stasiun Palmerah. Sial. Ia tidak tahu kalau di luar kondisinya separah ini. Mau tak mau ia lanjut berjalan mengikuti orang-orang. Sisa-sisa asap dari tembakan gas air mata masih bisa ia rasakan. Matanya masih perih. Hidungnya pun kerap mengeluarkan cairan. Rasanya lebih mending ketika sedang pilek.
Di pertigaan lampu merah depan ia mulai celingukan bingung harus mengambil jalan yang mana. Ke kanan tidak mungkin, justru di situlah sumber kerusuhan, di depan Stasiun Palmerah. Kalau menyeberang rel kereta di depan, berarti dia akan berada di Pasar Palmerah. Di sana mungkin banyak angkutan umum yang bisa ia naiki untuk keluar dari area sini. Sementara jika ke kiri, ia sama sekali tidak tahu itu jalan menuju ke mana. Maka pilihannya cuma satu: menyebrang rel kereta menuju Pasar Palmerah.
Namun, saat ia melangkah hendak melewati lampu merah untuk menyeberang, tiba-tiba beberapa orang membakar ban di tengah jalan. Asap hitam tebal langsung menyeruak. Penglihatannya menjadi kabur. Sudah begitu napasnya pun sesak. Selagi ia berusaha menjernihkan penglihatannya, sekonyong-konyong orang berlarian dari arah kanan diiringi tembakan gas air mata bertubi-tubi. Bentrokan pecah lagi. Tubuhnya yang lelah tertabrak orang-orang yang berlarian hingga terhuyung ke sana kemari.
Saat ia rasa kakinya tak mampu lagi menopang kuatnya tabrakan tubuh orang-orang pada tubuhnya, saat itu juga ada tubuh tinggi besar yang menyelimuti tubuhnya, menghalau orang-orang agar tak menabraki tubuhnya lagi.
Penglihatannya yang kabur karena gas air mata tidak berhasil mengenali siapa orang ini. Hanya pendengarannya yang masih berfungsi baik menangkap suara basnya yang bertanya, “Lo nggak apa-apa?”
Ia hanya menggeleng sebagai jawaban. Detik selanjutnya ia biarkan tubuhnya dipapah balik ke belakang untuk menghindari kerusuhan di depan mereka.
Beruntung gerbang sebuah SMA di depan mereka terbuka dan membiarkan mereka dan beberapa orang lainnya yang merupakan warga sipil masuk untuk menghindari bentrokan. Laki-laki itu melepaskan rangkulannya dan bertanya sekali lagi.
“Lo nggak apa-apa?” Suaranya terdengar khawatir.
“Perih banget,” ucapnya serak. Setelah beberapa saat mengucek matanya, ia akhirnya bisa melihat siapa yang menolongnya.
Nando?
Laki-laki itu merogoh saku belakang celananya lalu menyodorkannya sapu tangan.
“Pake ini dulu buat ngusap matanya.”
Ia pun menerima sodoran itu lalu mengusap matanya yang perih berair.
“Mau ke mana, Yu? Pulang?” tanyanya.
Ayunda mengangguk.
Nando berjalan menghampiri gerbang untuk melihat situasi dan mengobrol dengan bapak-bapak yang ada di sana lalu kembali lagi padanya.
“Jalan yang dibuka cuma ke arah Patal Senayan. Yang lainnya ditutup.”
“Itu jalan ke mana ya?”
“Dari pertigaan itu ke kiri. Tujuan lo ke mana?”
“Halte atau stasiun.”
Ayunda mendengar Nando berdecak.
“Pasti pada nggak buka.”
Nando tampak lebih khawatir daripada dirinya.
“Kalau udah nggak chaos gue anterin sampai nemu halte ya. Kata bapak itu sekarang polisi lagi ngegiring demonstran ke arah Slipi. Setelah itu baru kita jalan. Oke?”
Entah bagaimana, Ayunda tidak mengerti, tetapi kenapa hatinya mendadak lega sekarang? Lega karena tidak ada penghakiman, tidak ada larangan, tidak ada repetan nasihat bullshit yang membodoh-bodohkan tindakan yang ia ambil. Hal itu membuat perasaannya lebih baik di tengah kekacauan di sekitarnya.
Perlahan ia mengangguk.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan malam lewat lima menit ketika Nando melihat jam di tangannya. Situasi di sekitar kantornya sudah mulai tenang. Para demonstran berhasil digeser ke arah Slipi sehingga ia dan Ayunda bisa melanjutkan perjalanan. Hmm … sebenarnya ini perjalanan Ayunda, bukan dirinya. Tetapi sebagai teman ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu berjalan sendirian di malam hari saat situasi sedang genting dan mencekam seperti ini.
“Gila ya, mata gue masih perih aja lho,” celetuk Nando membuyarkan keheningan.
Mereka berjalan di tengah-tengah karena saking kosongnya sepanjang jalan di sekitar situ.
Setelah situasi dirasa cukup aman, akhirnya mereka putuskan mengambil arah kiri dari pertigaan lampu merah Palmerah itu. Di situ kondisi sangat aman bahkan cenderung sepi. Beberapa warga sipil mengambil jalur itu juga. Selain itu para mahasiswa yang merupakan demonstran juga banyak yang berkeliaran di sana. Sepertinya demonstran ini sedang beristirahat, atau mungkin sedang mencari jalan pulang juga sama seperti mereka. Yang pasti, para demonstran yang merupakan mahasiswa ini terlihat seperti anak-anak mahasiswa pada umumnya.
Setelah mendengar celoteh Nando, Ayunda menyodorkan sapu tangan miliknya.
“Eh, nggak usah. Lo pake aja. Gue nggak pa-pa, kok,” tolaknya. Padahal bukan itu maksud celetukannya tadi.
“Kalau terus jalan lurus itu ke mana ya?” tanya Ayunda.
“Itu ke Kebayoran Lama. Di sana ada halte TransJakarta sih. Cuma masih jauh.”
Ayunda mengangguk. “Kalau nggak, nanti cari taksi aja kayaknya.”
“Lo nggak hapal jalan sekitar sini ya?”
Ayunda menggelang.