Ia dan teman-teman satu ruangannya tengah sibuk mempersiapkan agenda paling penting tahun ini: Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Di antara segudang hal-hal yang harus dipersiapkan yang paling menyita waktu mereka adalah menyiapkan undangan untuk disebar jauh-jauh hari sebelum hari H. Total undangan yang mereka kerjakan ada sekitar tiga ribu undangan. Maka dari itu semua personil dikerahkan untuk “mengeroyok” undangan tersebut.
Di tengah keriuhan yang memenuhi setiap sudut ruangan Bagian Protokol ini, tiba-tiba ada yang lebih riuh hingga seketika itu juga semua orang berhasil bungkam. Tanpa sengaja mereka mendengar salah seorang teman mereka bertengkar—berdebat—dengan Kepala Protokol di ruangan paling ujung.
Nando dan Selbi yang sedang menyortir database tamu di meja yang paling dekat dengan ruangan itu refleks saling pandang. Begitu pun yang lainnya, saling melempar pandang.
“Agni kan itu?” tanya Nando pada Selbi.
“Hmm,” jawab Selbi sambil mengangkat kedua alisnya.
Tubuh mereka tetap berusaha bergerak secara normal—melakukan pekerjaan masing-masing—tetapi tentunya mereka tajamkan pendengaran hanya pada ruangan di ujung itu. Ruangan Mas Surya, Bos Protokol.
“Gini ya. Dua minggu lalu aku yang ditugasin untuk acara di Car Free Day padahal itu ternyata acara pribadi. Bayangin dong, acara pribadi! Hari Minggu lho itu. Aku relain weekend aku demi tugas itu padahal ternyata Protokol nggak punya peranan. Terus minggu lalu, hari Sabtu, aku juga yang tugas di acara pernikahan anaknya Menko di Ritz Carlton. Sampai malem lho, Mas.”
Nando dan Selbi yakin itu suara Agni, meledak-ledak seperti lupa kalau dirinya masih berada di lingkungan kantor.
“Masa besok Sabtu-Minggu aku lagi yang kena?”
Kini suara Agni berubah sedikit merengek. Teman-teman yang lain sudah tahu, Agni pasti sedang melobi tugas yang dibebankan padanya. Bekerja sebagai petugas Protokol memang harus banyak ikhlas. Ikhlas kerja 24 jam. Ikhlas hari libur hilang. Ikhlas tugas keluar kota atau keluar negeri berhari-hari. Ikhlas bertugas dadakan. Ikhlas menjalankannya tanpa mengeluh.
“Dengerin dulu, Sayang.” Kali ini suara Mas Surya. Lembut dan hangat banget mirip kue lapis baru ngangkat dari oven. Tetapi tiba-tiba suaranya memelan, meskipun masih dapat terdengar oleh Nando dan Selbi, karena pintu ruangan itu setengah terbuka.
“Nih ya, aku nggak milih-milih lho nugasinnya. Putarannya memang bagian kamu. Apes aja pas kamu yang kena di weekend. Masa tiba-tiba aku switch sama yang lain? Nanti dikira aku pilih kasih cuma karena kamu pacar aku.”
Ya, benar. Agni dan Mas Surya ternyata pacaran. Dulu-dulu Nando dan teman-teman yang lain tidak ngeh kalau Agni dan bos mereka punya hubungan khusus. Belakangan baru mereka sadar karena dari semua orang di Protokol yang paling berani mendebat Mas Surya di depan teman-teman yang lain ya cuma Agni saja. Mereka juga baru sadar kenapa Mas Surya selalu mendatangi meja Agni saat mau menugaskan perempuan itu. Beda jika menugaskan teman-teman yang lain, biasanya memanggil orang itu ke ruangannya. Meskipun kadang-kadang Mas Surya juga sesekali mendatangi meja stafnya jika ada urusan tertentu. Tetapi, beda saja kalau orang itu adalah Agni. Agni juga tak takut-takut jika menyindir atasan mereka itu. Sindiran seperti “Kenapa, Mas, senyum-senyum gitu? Mau nugasin saya pas weekend?” sampai semua orang melongo melihatnya. “Apa nggak takut kena teguran?” teman-teman yang lain bertanya-tanya.
Tetapi, ternyata oh ternyata, dua orang itu punya hubungan khusus! Meskipun fakta ini sudah lama terkuak, tetap saja tingkah Agni pada Mas Surya selalu memancing perhatian khalayak. Biasanya setelah itu teman-temannya berubah jahil menggodai mereka.
“Nanti tugasnya bareng aku deh,” bujuk Mas Surya. Suaranya lebih lembut dan lebih pelan. Nando sampai menutup mulutnya dengan tangan terkepal, tak kuat menahan tawa. Sementara Selbi bergidik geli sambil memejamkan kedua matanya.
“Luluh nggak tuh si Agni?” bisik Selbi pada Nando.
Nando menggeleng, yakin bahwa Agni sangat mungkin menolak mentah-mentah. Bertahun-tahun bekerja sama dengan perempuan itu Nando sudah hapal jika Agni mendebat maka argumen-argumennya selalu kuat. Belum lagi Mas Surya yang orangnya tipe-tipe bucin—budak cinta.
“Mas Surya tipe suami takut istri kayaknya,” balas Nando tak kalah berbisik.
“Kalau kata gue mah si Agni luluh.”
“Gocapan ya?”
Mereka malah taruhan!
“Deal!” putus Selbi menjabat tangan Nando.
Terdengar lagi suara Mas Surya yang pelan.
“Abis tugas kita lanjut jalan ke mana gitu. Mau kan?”
Beberapa detik hening. Lalu terdengar Agni menjawab.
“Awas ya kalau nggak!” ancam Agni galak, seperti biasa.
“Iyaaa. Jangan marah-marah lagi. Malu sama yang lain.”
“Tapi nanti berangkatnya jemput,” rengek Agni berubah manja.