Ayunda melihat Nando di depan counter XXI Café di salah satu mal di daerah Senayan. Laki-laki itu sedang berdiri tampak menunggu makanan atau minuman yang sedang ia pesan. Saat Ayunda memutuskan untuk menghampirinya, Nando sudah berbalik dan otomatis membuat senyum laki-laki itu mengembang. Tak kuasa memungkiri kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya ia pun tersenyum membalas.
Sulit untuk menampik segala sesuatu yang Nando sodorkan pada dirinya. Bahkan hanya dengan melihat mata jernih berkilau yang tampak sekali sangat antusias di depannya ini hatinya penuh keibaan.
“Gue udah cetak tiketnya.” Nando mengacungkan dua lembar tiket di depan matanya dengan ekspresi ceria khas anak-anak.
Ayunda hanya mengangguk.
“Dan ini,” Nando menyodorkan satu gelas es kopi susu pandan pada Ayunda yang baru saja laki-laki itu terima dari mas-mas petugas café. “Buat lo.”
Ayunda menerimanya. “Makasih.”
Setelah menyelesaikan satu seruputan pada minuman dalam genggamannya, Nando melirik jam di tangan kirinya. “Bentar lagi main. Masuk sekarang aja yuk.”
Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju studio tempat diputarnya film Maleficent 2.
Sebenarnya sebelum akhirnya ia memutuskan menerima ajakan Nando kemarin siang, terjadi pertimbangan yang sangat alot di dalam batinnya. Semalam ia sempat mengobrol dengan Mas Dio ketika kakaknya itu berkunjung ke rumah malam-malam. Ia tengah menonton TV malam itu. Dengan wajah yang kusut dan tampak lelah, Mas Dio duduk di sebelah Ayunda.
“Abis dari mana, Mas?” tanya Ayunda.
“Ketemu klien. Eh kamu kok nontonnya kartun sih, Yun?” tanya Mas Dio saat tersadar adiknya itu tengah menonton film kartun di TV.
“Nggak ada lagi acara, ya udah.”
“Umur udah dua-lima masih aja suka nonton kartun, baca-baca komik. Kayak bocah deh.”
Ayunda tertawa. “Biar imbang aja. Di kantor kan udah puyeng mikir, mantau perpolitikan juga, masa di luar jam kerja harus nonton dan baca yang berat-berat juga sih. Mumet.”
Mas Dio tertawa sambil mengacak rambut Ayunda gemas. “Kan ada kegiatan lain juga, misalnya pacaran? Emangnya sekarang masih jomlo aja?”
Ayunda mencibir tanpa menjawab pertanyaan Mas Dio.
“Mas serius nih, emang kamu nih belum pernah pacaran sama sekali ya? Atau dulu-dulu pernah bandel backstreet? Ayo ngaku.”
Ayunda tergelak sambil menggeleng. “Nggak pernah, Mas.”
“Kenapa?”
“Ya nggak aja.”
“Ya tapi kenapa?”
“Ya nggak mau. Udah itu aja.”
“Nggak mungkin gitu aja dong. Segala sesuatu itu kan pasti ada alasannya, Yun.”
Ayunda mengangkat kedua bahunya seraya berkata, “Mungkin … takut?”
“Takut apa?”
“Aku takut nggak bisa aja.”
“Nggak bisa berkomitmen maksud kamu?”
Ayunda menumpukan pandangannya pada film kartun di depannya tanpa menjawab pertanyaan Mas Dio, bahkan dengan sedikit gestur sekali pun.
“Padahal suatu hari nanti kamu pasti akan berkomitmen dengan seseorang, Yun.”