Yang Dikejar, Lari

Diana Mahmudah
Chapter #16

Bab 15 Trial

Nando bisa langsung menemukan seseorang yang ia cari saat memasuki food court Plaza Senayan. Perempuan dengan rambut warna-warni yang duduk sendiri dan tengah mengetik sesuatu di laptop di depannya dengan serius itu memang yang paling mencolok di sana. Nando tak perlu bersusah payah mengirim pesan atau meneleponnya untuk menanyakan posisinya. Ia pun langsung menghampiri.

"Permisi, Mbak. Tokonya udah mau tutup," ucap Nando bernada formil, mengerjai Vinka.

Vinka tentu saja terkejut. Sedang fokus mengetik sesuatu di laptop lalu tiba-tiba ditegur seperti itu. Teguran itu malah lebih mirip usiran secara halus bahkan. Saat mendongak, ia mendapati Nando sedang tertawa tanpa suara.

"Astaga! Gue kira beneran mas-mas petugas ngusir gue," pekik Vinka.

Masih dengan tawa kecilnya, Nando duduk di depan Vinka lalu protes. "Kirain ngajakin ngopi di mana. Eh tahunya cuma di food court. Paling depan lagi posisinya."

Vinka terkekeh tapi juga merasa tak enak. "Sorry. Nggak sempat nyari tempat lagi soalnya. Dari sore tadi gue ngejar deadline lima artikel hari ini."

"Kalau tahu lo lagi sibuk gini, kenapa ngajak ketemuan sekarang? Kan gue jadi nggak enak."

Vinka menggeleng. "Ini tinggal satu rilis lagi kok, abis itu gue free. Eh, mau pesan kopi apa?" tunjuk Vinka pada stan kopi asal Singapore di samping mereka.

"Biar gue aja yang pesan sendiri. Lo lanjut nulis aja."

Selagi Vinka melanjutkan mengetik di laptop, Nando memesan kopi dan satu porsi toast srikaya. Pukul tujuh malam area food court tidak terlalu ramai. Apalagi ini hari kerja. Nando memesan kopi dan toast tanpa mengantre panjang. Selagi menunggu Vinka mengetik--yang katanya sedikit lagi selesai--ia iseng mengambil dan memainkan name tag milik Vinka yang tergeletak begitu saja di atas meja.

Ia melihat gambar logo kantor Vinka, yaitu media olahraga tenama di Indonesia, di atas foto perempuan itu. Foto yang sepertinya diambil beberapa tahun lalu itu seperti tak ada bedanya dengan wajah asli Vinka kini. Yang membedakan hanya warna rambut perempuan itu saja yang dulu masih berwarna hitam, tetapi tetap pendek sebahu. Oh, Vinka di foto itu juga tanpa kaca mata, membuat Nando merasa bola mata Vinka tampak lebih kecil. Selain bola matanya yang kecil, wajah Vinka juga mungil sekali. Entah bagaimana, setiap kali merasa wajah Vinka itu ukurannya lebih mungil dari orang kebanyakan, setiap kali itu pula ia selalu membayangkan wajah Vinka mirip anak kucing. Tanpa sadar Nando tertawa tanpa suara.

Kini perhatiannya ia alihkan pada wujud asli perempuan yang fotonya menempel di name tag yang ia pegang. Wajah Vinka serius sekali ketika sedang menulis. Melihat wajah mungil itu rasanya ia ingin sekali meraup dengan satu tangannya. Ia yakin bahwa satu tangannya itu pasti bisa menutupi seluruh wajah Vinka. Tangannya memang besar, tetapi wajah Vinka ini kelewat mungil, membuatnya jadi gemas sendiri.

Merasa dirinya diperhatikan, Vinka melirik pada Nando beberapa detik, membuat mereka bersitatap sekejap. Tapi kemudian, tanpa sepatah kata terucap, bola mata di balik lensa kaca mata perempuan itu beralih kembali ke layar laptop dan melanjutkan menulis.

Nando sempat terkejut dikira Vinka akan mengomelinya karena merasa terganggu dengan kehadiran Nando, meskipun sedari tadi Nando tak melakukan apa pun.

"Nah, udah," ucap Vinka lalu menutup laptopnya dan menggesernya sedikit ke pojok. "Hehe. Sorry ya."

Nando menggeleng seraya tersenyum. "Lucu juga merhatiin lo lagi serius gitu."

"Ah, kan bener! Gue memang berfirasat sejak tadi lo merhatiin gue," keluh Vinka.

Nando tertawa. "Sorry deh kalau ngeganggu. Besok-besok nggak akan gitu lagi."

Vinka balas tertawa. "Sebenarnya nggak masalah sih. Gue sering nulis di tempat umum dan gue yakin pasti satu-dua orang ada yang merhatiin gue. Cuma tadi tuh gue ngerasa lo merhatiinnya nyebelin."

"Eh kok nyebelin? Kan gue nggak ngapa-ngapain."

"Lo kan usil orangnya. Tukang ngeledek."

Nando terbahak mendengar pernyataan Vinka. Ia akui bahwa dirinya memang terkadang suka sekali mengusili teman-temannya. Kalau Selbi sering bilang Nando itu tukang bully, meskipun level bully yang Nando lakukan hanyalah sebatas bercanda, tapi kadang mengesalkan.

"Kirain tadi lo tuh lagi nyari inspirasi gitu. Ketika melihat gue, lo serasa melihat Christiano Ronaldo dan ide-ide lo langsung moncer."

"Hih, kepedean."

"Nulis artikel hasil interview sama Melanie Putria tadi bukan?" tanya Nando.

“Bukan. Ini utang rilis gue dari kemarin. Kalau yang sama Melanie Putria bisa gue garap nanti malam atau besok pagi aja.”

Nando mengangguk. "Enak ya kerjaan lo. Bisa ketemu orang-orang terkenal."

Vinka menyelesaikan seruputan pada kopinya sebelum menanggapi, "Bukannya lebih enak kerjaan lo ya? Ketemunya sama orang-orang yang berkuasa di negara ini."

"Bukan ketemu sih kalau itu. Lebih tepatnya pelayanan kali ya. Bedalah sama lo."

“Tapi kalau gue ketemu orang-orang terkenal itu terkait kerjaan, setelah itu selesai, kami nggak ada 'hubungannya' lagi. Kalau lo kan setiap hari. Gitu bukan?"

"Ya gue juga ketemu orang-orang itu kan juga sebatas pekerjaan aja. Di luar itu, mereka semua orang lain. Mereka dengan kehidupan mereka. Gue dengan kehidupan gue sendiri."

"Gue jadi inget sama teman-teman wartawan gue yang suka ngeliput politik. Mereka tuh suka kesusahan gitu buat ketemu sama bapak-bapak yang terhormat itu. Kalau misalnya via lo bisa nggak sih?" tanya Vinka.

"Via gue apanya?"

"Dijembatani sama lo gitu. Lo kan pasti ketemu mulu sama mereka."

"Ya nggak bisa. Gue bukan staf langsung mereka. Kalau minta bikinin janji gitu tuh ke sekretarisnya, bukan ke Protokol kayak gue."

"Oh gitu ya. Gue kira sama aja. Ternyata yang ngurusin tuh beda-beda ya. Eh tapi, karena intensitas ketemu dengan mereka itu sering, para politisi itu tuh pasti kenal dong sama lo?"

"Ada sih beberapa yang kenal. Cuma dikiiit banget."

"Enak, Nan. Kalau ada apa-apa lo bisa bawa-bawa nama mereka.”

Nando tersenyum tipis."Pilihan sih, Ka."

Vinka mengernyit. "Pilihan? Maksudnya?"

"Mungkin ada beberapa orang yang memanfaatkan hal-hal kayak gitu demi kepentingan pribadi mereka. Misalnya, yang paling sering sih, saat lo kena tilang di jalan. Banyak teman-teman gue yang ngeles lagi tugas sama si bapak anu, lah, atau kenal sama bapak itu, lah. Rata-rata berhasil, Ka."

Lihat selengkapnya