Yang Dikejar, Lari

Diana Mahmudah
Chapter #17

Bab 16 Pintu Lainnya dan Risiko

Nando baru saja melangkah keluar pintu ruangan untuk segera pergi ke Ruang Rapat Paripurna, tetapi suara melengking Agni berhasil menghentikan langkahnya sebelum sempat memecahkan gendang telinganya, saking kencangnya.

"Apa?" tanya Nando gemas.

Agni menghampirinya di ambang pintu, lalu menarik lengan Nando hingga mereka menyingkir ke samping sehingga tak menghalangi jalan.

"Kerah kemeja lo nggak rapi," ucap Agni sambil membenarkan kerah kemeja belakang Nando yang mencuat keluar jas.

Nando diam saja ketika Agni dengan telaten merapikan bajunya, memutar badannya untuk mengecek penampilannya, lalu membenarkan simpul dasi yang ternyata masih longgar.

Kebiasaan yang selalu dilakukan Agni jika ada acara besar seperti sidang-sidang atau pelantikan Presiden—seperti sekarang ini—ia selalu merasa "gatal" kalau penampilan teman-temannya ada yang tidak rapi, meskipun sedikit saja. Melihat dasi miring saja ia gemas sekali ingin meluruskannya. Sampai semua teman-temannya ia cek satu-satu. Mungkin ia menderita OCD—Obsesive Compulsive Disorder—yang membuatnya merasa berkewajiban mengatur benda-benda dengan pola tertentu.

Setelah selesai Agni menepuk kedua bahu Nando tanda pekerjaannya telah rampung.

"Udah cakep!"

Nando tersenyum simpul. "Thanks."

"Nanti bakal banyak kamera nyorot, penampilan lo harus paripurna," ucap Agni.

"Kebetulan pos gue sekarang di box penerjemah, bukan di bawah lagi. Jadi gue nggak akan kena kamera."

Mereka pun berjalan menuju lift untuk turun.

"Tumben. Biasanya lo itu kayak kojo, selalu disimpan di tempat strategis."

"Bukan tempat strategis sih, tapi tempat-tempat yang susah. Dan kayaknya gue bukan kojo melainkan tumbal."

Agni tertawa. "Nggak gitu kali. Itu artinya lo dipercaya buat megang tanggung jawab yang besar."

"Kali ini Mas Bos kayaknya kasihan sama gue terus dikasih tugas yang gampang deh."

"Di situ nggak gampang juga kali. Lo harus memastikan semua alat penerjemah nggak ada yang rusak. Banyak, tahu, alatnya. Buat semua Duta Besar yang datang kan? Ada kira-kira seratus orang?"

"Lebih. Bukan Dubes doang, tapi sama Kepala Negara Sahabat juga. Tapi dibandingkan dengan tugas di pos bawah, ngarahin tamu-tamu, lebih mending di box penerjemah gini sih. Pos lo di mana, Ni?"

"Di ruang transit VVIP bawah."

"Wah, enak banget!"

"Nggak enak kali. Pergerakan terbatas karena banyak Paspampres."

"Ya itu maksud gue enaknya. Karena pergerakan terbatas jadinya nggak banyak gerak. Hahaha."

Agni pun tertawa menyadari itu. "Iya juga ya."

Ketika lift terbuka di lantai satu, mereka pun bergegas menuju Ruang Rapat Paripurna. Sebelum Nando naik eskalator ke lantai tiga, Agni memanggilnya lagi.

"Gue gemas dari tadi lihat kabel earphone lo." Ia pun lalu membenarkan kabel earphone yang tersambung ke HT di telinga Nando yang tersangkut di kerah jas belakangnya, kemudian menyembunyikannya di balik jas Nando. "Nah, rapi kan kalau begini."

"Pantesan penampilan Mas Surya selalu on point."

Agni hanya mengulum senyum, malu. "Dah, sana."

Terkadang Nando bersyukur masih banyak yang peduli padanya meskipun hanya sekadar kerapian pakaian. Semenjak ia hidup sendiri ia baru menyadari ternyata banyak juga orang yang perhatian dan peduli padanya. Mungkin kata-kata 'Tuhan itu adil' memang benar. Ketika satu pintu tertutup, maka pintu-pintu lain akan terbuka. Kalau kata orang tua zaman dulu; selalu ada hikmah.

Nando berjalan ke sayap kiri gedung untuk naik ke posnya. Tanpa terduga di situ ada Ayunda, berdiri sendirian di depan tangga yang aksesnya masih ditutup dengan garis pembatas merah. Nando melihat di sana juga ada dua orang Paspampres yang sedang berjaga. Saat ia mendekat, Ayunda menoleh padanya lalu tersenyum canggung.

Apakah ini "pintu lain" yang terbuka itu? Nando langsung menggeleng, menyadarkan dirinya.

"Ngapain, Yu?" tanya Nando.

"Nunggu akses dibuka. Katanya di atas lagi disteril dulu."

Nando paham. Biasanya, jika ada acara yang melibatkan Presiden, akses masuk pasti lebih diperketat. Malah tak jarang, tuan rumah yang punya hajat tidak diperbolehkan masuk. Lucu sih memang, karena Nando menganggap itu berlebihan. Bagaimana ceritanya tuan rumah yang punya hajat tidak boleh masuk?

"Posnya di mana sekarang?"

Lihat selengkapnya