Pintu kayu berwarna coklat kehitaman yang mengkilat. Secara pelan aku mulai membuka kenop dan memasuki ruangan setelah mengetuk pintu yang tak dikunci tersebut beberapa kali namun tak ada jawaban. Sang empunya ruang ada di dalam, itu kabar yang kuterima dari asisten rumah tangganya beberapa saat yang lalu.
Edaran pandanganku mulai menyapu sudut-sudut ruangan. Sebuah kamar tidur yang menenangkan, begitu kupikir pada mulanya. Namun kini terasa jauh lebih mirip dengan belantara yang penuh aroma pedih menyesakkan dada.
Seorang perempuan muda yang masih lengkap dengan pakaian tidurnya nampak dalam posisi agak meringkuk. Ada selembar selimut menutupi sebagian besar tubuh bawahnya. Rambut sebawah bahunya tak beraturan membingkai hampir seluruh wajah yang kini menghadap ke arah jendela transparan, membelakangi arah pintu di mana aku berada.
Matahari sudah mulai naik di luar sana, cahayanya merasuk melalui sela gorden yang terbuka lantaran disimpul pada bagian pertengahannya. Lumayan silau, namun terlihat sedikit cocok dengan kamar tidur bernuansa dinding krem keabuan ini. Lumayan banyak tanaman hias mungil bersulur di beberapa sudut, seolah mereka memang tengah menanti perjumpaan dengan sinar matahari setelah semalaman menanti.
"Nara, boleh gue masuk?" pada akhirnya aku mendengar suaraku sendiri yang lumayan spontan menerobos hening ruangan.
Gadis muda bernama Nara tersebut masih bergeming. Aku jadi ragu sudahkah ia bangun atau justru masih terlelap. Aku mulai mempertimbangkan untuk keluar dari tempat tidur tersebut, menyadari mungkin saja tindakanku ini tidak membuat tuan rumah berkenan.
Hingga akhirnya mataku menangkap sebuah pergerakan, yang mungkin dilakukan Nara dengan sedikit keengganan. Wajah gadis itu mulai menengok ke arah pintu masuk tempat aku berdiri. Sejenak, untuk kemudian memalingkannya lagi ke arah jendela transparan seperti semula.
Aku mulai berpikir dalam hati apakah memang kehadiranku justru mengganggunya. Di tengah kebingunganku itu, seolah tanpa komando mulutku menyuarakan lagi kata-kata selanjutnya.
"Gue Galih, mungkin lo udah tau. Kalo lo ngerasa nggak nyaman, lo bisa usir gue sekarang." Mataku menatap nyalang ke arah tempat tidur gadis tersebut. Aku kini mulai tak yakin dengan niatan awal yang ingin kulakukan untuk mengunjungi gadis bernama Nara tersebut.