š¤POV Naraš¤
Hari Rabu pukul 05.10. Sepertinya memang sekarang saatnya aku harus berputus asa. Memandang ke belakang, berapa lama, berapa minggu entah berapa bulan aku tak begitu ingat. Tidur malamku belakangan ini tak pernah terasa benar-benar lelap. Terbangun beberapa kali di malam hari sudah mulai kuterima sebagai bagian rutinitas.
Tak seperti hari sebelumnya, aku menguatkan diri untuk bangkit duduk di atas kasurku. Meraih gorden yang berada tepat di samping tempat tidur, menyimpulnya pada bagian pertengahan. Menengok ke arah kiriku, mamatikan lampu tidur di atas meja samping tempat tidur. Entah kenapa pagi ini aku seperti amat tergerak untuk menenggak isi botol minum yang kuletakkan di dekat lampu meja.
Langit di balik jendela kaca lambat laun mulai memunculkan semburat cahaya, aku membelakanginya. Sambil minum pandanganku menyapu apa saja yang ada di depanku. Dari tumpukan buku hingga pajangan quotes yang kubingkai dan kutempelkan di dinding.
Aku melihat beberapa tanaman hias yang kurambatkan di dinding kamar. Aku menyaksikan beberapa tanaman dalam pot tersebut dengan seksama. Memikirkan kemungkinan tentang jiwaku yang barangkali mirip dengan mereka.
Jika kupikirkan selama ini aku sebagai tanaman hias, sudah berapa buruk kondisiku? Apa aku sudah sekarat dengan banyak daun kering rontok di sekelilingnya? Aku mulai memikirkan hal ini terdengar menyedihkan dan sebelumnya aku hanya menerimanya begitu saja. Aku tidak bisa menolak kepedihan yang tiba-tiba, selama ini aku tidak merasa bisa menghentikan keterpurukan yang kurasakan.
Sekarang aku berpikir barangkali semua ini memang impas. Well, apa memang benar Lana sekarang sedang menghukumku habis-habisan? Sepanjang yang kuingat aku selalu tidak menganggap penting dirinya dan omongannya. Dia sedang melakukan hal yang sama terhadapku belakangan ini dan entah mau sampai kapan selalu akan begini?
Jujur saja kuakui mungkin membenci Lana adalah keahlianku. Saat Lana di sisiku aku membencinya betapa aku berpikir dia adalah pribadi paling mengganggu di hidupku. Kini saat Lana sudah tiada, aku lebih lagi membencinya. Aku membenci Lana karena ternyata aku mencintainya, membutuhkannya sedalam ini. Namun sayang sekali harus sebuah kematian untuk bisa menyadarkanku sampai ke titik ini.
Mungkin sangat gampang bagiku untuk terus menyalahkan diri sendiri. Menenggelamkanku makin dalam pada lumpur hisap bernama kepedihan, menunggu hingga detik terakhir sebelum segala kewarasanku akhirnya tertelan tak bersisa. Terlihat sangat mudah untuk berputus asa.
Aku melihat ke sekeliling manapun dan tetap tak ada target manapun yang bisa kusalahkan sesempurna diriku sendiri. Tentu aku merasa bersalah pada Lana, saudaraku satu-satunya, sampai ia meninggal aku sama sekali tak mengenalnya.
Aku juga merasa bersalah pada Papa dan Mama, harus membuat mereka lebih bersedih padahal aku tahu betapa sibuknya mereka. Mungkin aku juga merasa bersalah pada sahabat-sahabatku sendiri, pada pacarku Devon, telah amat terlalu lama waktu yang kubutuhkan untuk memikirkan duniaku sendiri, yang sempat kupikir telah porak-poranda. Entahlah.
š¤
Pagi ini untuk pertama kalinya aku sempat sedikit mulai bertanya-tanya, apa yang telah membuatku sedikit tergerak untuk berubah? Perlahan menyingkirkan depresiku dengan lumayan sukarela?
Jam sarapan, aku duduk menghadap meja makan polosku yang bernuansa putih. Pandanganku sedikit menerawang melalui dua bilah jendela kaca lumayan besar yang terletak di area dapur bernuansa terang milikku yang tersambung dengan ruang makan.
Di meja hadapanku ada bunga tulip mini orange yang terlihat segar dengan tangkai berdaun hijaunya, tertata cantik dalam vas keramik bermotif orange juga.