Diiringi suara giginya yang gemeretak, Nyak Dollah menancapkan sebilah rencong di dada laki-laki malang itu. “Aarghhhh ….” Laki-laki itu mengerang, memegang dadanya yang basah. Seketika ia pun tumbang ke lantai. Darah segar mengalir mengenai tangan Nyak Dollah yang tersenyum puas seraya mengumpat, “Aneuk Bajeung!” Nyak Dollah menarik kembali rencong bergagang perak itu dan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, mengayun-ayunkannya di bawah temaram lampu yang tergantung di langit-langit kamar.
Sejurus kemudian, Nyak Dollah mundur beberapa langkah, menjauhi genangan darah yang terus mengucur dari tubuh laki-laki renta itu. Dipandanginya tubuh ringkih itu dengan mata membara, seraya ingatannya melayang ke masa silam, ketika luka di hatinya baru saja dipahat. Ingatan itu datang begitu saja, berarak bagai awan hitam yang membawa hujan. Dan perlahan, matanya pun mulai basah, merintik dan jatuh ke lantai, bercampur rona darah yang terus mengalir.
“Cuw’ak paleh!”
Segera setelah umpatan itu keluar dari mulutnya, Nyak Dollah menyeka air matanya yang terus turun seraya menarik napas dalam-dalam. Dia melangkah ke luar kamar, menuju ruang tamu, tempat seorang perempuan paruh baya duduk terikat dengan mulut disumpal kain. Nyak Dollah mendekat, membuat perempuan itu menggeliat hebat, bagai lintah disiram air tembakau. Perempuan itu coba menjerit, tapi suaranya tercekat di tenggorokan dan kembali tenggelam ke lambungnya sendiri. Dia hanya bisa menangis tatkala matanya menyorot sebilah rencong di tangan Nyak Dollah, pemuda yang sudah hampir setahun menumpang hidup di rumah mereka.
Perempuan itu menangis sesenggukan, merintih, berharap ada setitik iba yang tersisa di hati Nyak Dollah, sedikit saja, agar ia bisa menjelaskan semuanya. Namun, pemuda itu sudah tak mungkin lagi memikul dendam terlalu lama. Terlalu berat dan perih. Sudah tiba waktunya untuk menuntaskan segala keperihan yang selama bertahun-tahun ia tanggung. Ya, tueng bila adalah kemestian, agar amarah yang membuncah di hatinya segera redam. Maka sebelum suara perempuan itu benar-benar keluar dan memengaruhi pikirannya, dia segera menancapkan rencong yang masih berlumur darah tepat di leher perempuan itu. Dia menusuknya beberapa kali, membuat tubuh perempuan itu kejang beberapa jenak dan kemudian lunglai.
Nyak Dollah tersenyum puas. Tapi, itu hanya beberapa menit. Tiba-tiba saja dia teringat ibunya. Sudah hampir setahun dia meninggalkan perempuan itu di kampung. Dia ingin segera pulang malam itu juga. Lagi pula tugasnya di kota Medan sudah selesai, sudah tunai. Tak perlu lagi dia berlama-lama di kota itu. Dia harus segera pulang agar ibunya tak lagi kesepian. Dia harus pulang malam itu juga, sebelum tetangga dan polisi datang. Maka bergegaslah Nyak Dollah, membersihkan badan, mengganti pakaian dan lalu pergi meninggalkan rumah bersama dua mayat tergeletak di dalamnya.
Nyak Dollah menaiki bus di terminal jalan Gagak Hitam, menaikinya dengan tergesa-gesa, ketika jam di tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Mendapat kursi paling belakang, Nyak Dollah menutup mukanya dengan selimut. Dia tidak ingin berbicara dengan siapa pun dan ingin segera tidur pulas agar besok pagi matanya bisa bersinar terang. Namun, ketika matanya hendak terpejam, pikirannya kembali melayang ke rumah itu, rumah yang sudah setahun ia tumpangi. Rumah yang pemilknya begitu ramah dan baik, yang tak sekadar memberinya makan dan tumpangan, tapi juga memberinya uang dan pakaian. Dan seandainya dia tidak membunuhnya malam ini, mungkin sepasang suami istri itu akan segera mencarikan seorang gadis untuk ia sunting. Tapi, bagi Nyak Dollah, kematian mereka lebih penting dari segalanya.
*
Bus terus melaju kencang, menembus malam yang kian pekat. Suara musik berdesis pelan, mengeluarkan suara Pance Pondaag yang melengking, membuat para penumpang larut dalam kenangan masing-masing. Lampu bus yang terlihat redup mengesankan suasana yang semakin syahdu, membuat kenangan-kenangan itu kian nyata dan dekat.
Sementara itu, jauh di belakang mereka, kegaduhan sedang terjadi. Orang-orang tampak berkerumun di sekitaran Bidara Residence, pada satu rumah yang terletak paling ujung. Penemuan dua mayat oleh seorang tetangga berhasil membuat gempar seisi kompleks. Mereka datang dengan wajah penasaran, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin ada pembunuhan di rumah yang dipenuhi sorotan CCTV dan lalu-lalang orang-orang. Apalagi gerbang kompleks juga dijaga petugas keamanan. Ini adalah kejadian aneh dan baru pertama terjadi di kompleks itu, pikir mereka.
Polisi yang tiba dua jam kemudian langsung saja melakukan Olah TKP. Beberapa polisi tampak memotret kedua jenazah yang terbaring di dua tempat berbeda. Pada posisi penemuan mayat, polisi terlihat membuat garis warna putih, sementara polisi lainnya memasang Police Line di bagian luar, melingkari bangunan itu dengan tanda warna kuning agar orang-orang tidak lagi merangsek masuk ke TKP. Beberapa polisi juga melakukan wawancara dengan sejumlah warga yang pertama kali menemukan mayat. Mereka semua mengaku terkejut dan tidak pernah menduga akan ada kasus pembunuhan di kompleks itu.
“Sejak dulu di sini aman-aman saja. Jangankan pembunuhan, keributan saja tidak pernah terjadi,” kata salah seorang warga.