Setelah menunggu dua bulan akhirnya polisi mengetahui keberadaan Nyak Raja. Kabar itu disampaikan Pak Mustajab kepada polisi setelah dirinya tak sengaja berjumpa laki-laki berkepala plontos itu di sebuah warung kopi tak jauh dari asrama militer Belawan. Saat itu Pak Mustajab bersama istrinya baru pulang dari acara hajatan karib mereka. Karena tiba-tiba merasa mengantuk, Pak Mustajab dan istrinya singgah di sebuah warung kopi tepi jalan, di samping bengkel motor milik temannya. Saat itulah, tiba-tiba saja Nyak Raja muncul dari bengkel dan menyapa pasangan suami istri itu. Mereka bersalaman dan lalu Pak Mustajab mengajak Nyak Raja menemaninya meneguk kopi.
Nyak Raja tampak begitu terkejut ketika Pak Mustajab menyampaikan berita kematian Pak Tomi dan istrinya. Seketika saja laki-laki itu mengusap-usap kepala plontosnya seraya memejam dalam. Dia menarik napas panjang dan menggeleng beberapa kali. “Kasihan Bang Tomi,” ujar Nyak Raja dengan suara lemah.
“Sudah dua bulan dan sampai saat ini polisi belum menemukan pelakunya,” timpal Pak Mustajab dengan suara pelan seraya bibirnya mengecap-ngecap sisa kopi yang merembes di mulutnya. Nyak Raja mengangguk, matanya berkedip cepat. Ada kesedihan di mata itu, kesedihan yang teramat dalam. Ingin rasanya dia menangis, tapi urung. Ditahannya sebak itu dalam dadanya yang naik turun.
“Sebenarnya Bang Tomi itu masih kerabat saya. Dia sepupu saya,” kisah Nyak Raja dengan suara bergetar. “Kami sama-sama harus pergi dari kampung dan merantau. Saya sejak awal memang memilih tinggal di Medan karena istri saya kebetulan orang sini. Sementara Bang Tomi pergi ke Batam. Lama dia di sana. Tapi entah kenapa, mungkin tidak betah atau bagaimana saya kurang tahu, akhirnya dia juga pindah ke Medan ini. Ya, seperti pernah saya ceritakan dulu sama Pak Mustajab.”
Mendengar cerita Nyak Raja, Pak Mustajab mengangguk pelan seraya menjumput janggut kecilnya. Wajahnya menyirat kesedihan yang sama.
“Kalau boleh saya tahu … ini kalau boleh, ya?” tanya Pak Mustajab seraya melirik ke arah istrinya. “Kenapa Pak Raja dan Pak Tomi harus merantau, maksud saya kenapa harus meninggalkan kampung halaman? Soalnya dulu Pak Raja juga pernah cerita kalau Pak Tomi sudah tidak mungkin lagi untuk pulang ke Sigli ….”
“Oh tidak apa-apa, hehe …” potong Nyak Raja sambil tersenyum aneh. Senyum yang membuat Pak Mustajab tak enak hati.
Melihat raut wajah Pak Mustajab yang sedikit redup, mungkin karena malu telah bertanya yang bukan-bukan, Nyak Raja menarik rokok dari saku kemejanya, membakar rokok itu dengan pelan dan lalu mengisapnya dengan dalam.
“Begini,” kata Nyak Raja kemudian, beberapa detik setelah gulungan asap keluar dari mulutnya yang kecil. Ya, mulutnya memang sedikit kecil dibanding mulut orang-orang biasa. “Pak Mustajab kan tahu sendiri di kampung kami saat itu sedang tidak aman, perang di mana-mana. Jadi untuk bisa cari uang sulit sekali. Itulah sebab kami memilih merantau,” kata Nyak Raja sambil ujung telunjuknya mengetuk-ngetuk debu tembakau pada rokoknya.
Pak Mustajab tersenyum sambil mengangguk. Ada perasaan tidak enak di hatinya, tapi mau bagaimana lagi, dia pun sudah terlanjur bertanya. Rasa ingin tahu di kepalanya memang terlalu besar. Lagi pula, pikirnya, dia juga butuh sedikit informasi untuk disampaikan pada polisi. Namun, hal itu tidak ia utarakan pada Nyak Raja. Dia takut laki-laki sepuh itu tersinggung dan salah paham.
“Saya minta maaf, Pak Raja,” katanya kemudian sambil mendeham pelan.
“Oh, tidak apa-apa Pak Mustajab. Tidak ada masalah. Biasa itu, hehe ….” Balas Nyak Raja dan lalu dia berdiri memanggil pelayan warkop.
“Jangan, jangan! Biar saya saja yang bayar, Pak Raja.”
“Gak apa-apa, kebetulan saya lagi ada rezeki,” kata Nyak Raja sembari meletakkan pecahan lima puluh ribu di atas meja.
“Saya mau pamit dulu, ada tahlilan di rumah nanti malam. Jadi saya harus belanja barang sedikit. Tadi motor saya mogok, maka singgah di bengkel,” katanya lagi.