Satu tahun sebelum peristiwa di Bidara Residence, Nyak Dollah bekerja sebagai penggiling padi keliling di kampungnya, 25 km dari kota Sigli. Bersama temannya, si Yoeng, dia berkeliling dari kampung ke kampung menggunakan mesin penggiling padi yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sekilas mesin tersebut terlihat aneh, di mana bagian depannya mirip becak karena memiliki tiga roda, dan bagian belakang dipasangi mesin yang di atasnya terdapat lubang mirip cerobong, tempat padi dituang dan kemudian keluar menjadi beras melalui pipa bagian bawah. Dari pekerjaan itulah Nyak Dollah mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selepas Zuhur, Nyak Dollah dan si Yong akan berjalan tergesa-gesa menuju rumah Haji Amad Miriek, pemilik mesin penggiling padi paling tersohor di kampung mereka. Dia memiliki 15 belas unit mesin penggiling padi keliling yang ke semuanya beroperasi di kampung-kampung sekitaran kota Sigli. Penemuan mesin penggiling demikian sebenarnya terbilang baru, tiga atau empat tahun lalu. Sebelumnya, Haji Amad Miriek, seperti tauke-tauke lainnya, masih menggunakan prabrik penggiling padi konvensional, di mana para pekerja akan berkeliling kampung untuk mengumpulkan padi penduduk yang baru saja dijemur dengan menggunakan becak barang. Padi-padi itu kemudian diangkut ke pabrik untuk digiling dengan mesin besar.
Sebelumnya Nyak Dollah dan para pemuda putus sekolah di kampungnya juga bekerja di pabrik konvensional milik Haji Amad. Mereka berperan sebagai tenaga yang akan menjemput padi-padi penduduk ke rumah-rumah menggunakan becak. Namun, dengan adanya penemuan mesin keliling, semuanya berubah. Pabrik-pabrik besar yang masih bermodel konvensional akhirnya satu persatu menemui ajalnya, terpaksa tutup karena tidak ada lagi yang menggunakan jasa mereka.
Nyak Dollah memulai pekerjaan berkeliling sejak pukul 1 siang dan baru kembali ke rumah menjelang Magrib. Itu jika cuaca sedang baik. Akan tetapi, di musim penghujan, keadaan menjadi berbeda. Kadang-kadang mereka harus kembali dengan tangan hampa sebab tidak ada padi yang bisa digiling. Matahari yang redup sepanjang hari di musim penghujan membuat padi tidak bisa dijemur dan akhirnya tak ada yang bisa digiling. Sebaliknya, ketika tiba masa panen, terlebih dalam cuaca yang panas menyengat, Nyak Dollah dan teman-temannya akan mendapat uang lebih, dan andai mereka mau, bolehlah sesekali berfoya-foya, sebab terlalu banyak padi yang mereka giling.
Namun begitu, Nyak Dollah bukanlah tipe pemuda yang suka bersenang-senang. Sejak kelahirannya ke dunia ini, kemurungan telah menyergap hatinya. Amat jarang dia bisa tersenyum bebas dan lepas seperti teman-temannya. Wajahnya selalu saja muram, tak ada cahaya dan selalu saja redup. Dia terlanjur memanggul kepedihan selama bertahun-tahun, terlebih ketika ia menyadari kalau dirinya seorang yatim. Cerita-cerita tentang sosok ayah yang ia dengar dari mulut ibunya sejak ia berusia 5 tahun membuat Nyak Dollah kian akrab dengan kepedihan.
Dan, kepedihan itu kian membakar saat usianya menginjak 15 tahun. Saat itu, ibu yang teramat dia sayangi telah berubah menjadi sosok yang lain, sosok yang sama sekali berbeda. Setiap hari, ketika Nyak Dollah sedang bekerja, perempuan itu menghabiskan waktunya berjalan sendirian, menelusuri hampir semua lorong yang ada di kampung Lingga. Seraya berjalan ia menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama suaminya. Awal-awal warga kampung mengira ia hanya merindukan suaminya yang telah meninggal. Namun, dari hari ke hari, keadaan semakin memburuk, ia sering keluar rumah di malam hari dan berbicara sendiri. Dia mendatangi perkuburan di belakang masjid dan bercakap-cakap di sana, entah dengan siapa.
Nyak Dollah yang menyadari perubahan pada ibunya selalu saja megikuti perempuan itu dari belakang. Namun, perempuan itu akan sangat marah jika diajak pulang. Katanya dia sedang mencari suaminya yang hilang. Dia mencarinya di area makam, walau ia sendiri sadar suaminya tak ada di sana, laki-laki itu hilang ditelan bumi ketika Nyak Dollah masih berusia dua tahun. Saat peristiwa itu terjadi, pikirannya memang sempat terguncang, tapi seiring perjalanan waktu, dia kembali pulih. Namun, ketika usia Nyak Dollah menginjak 15 tahun, kejadian itu kembali berulang sampai akhirnya warga kampung menganggapnya gila.
Awalnya Nyak Dollah sendiri menolak saat ibunya disebut gila, walau ia sendiri tahu kalau di kampungnya ada banyak orang yang mengalami nasib serupa, salah satunya adalah pamannya sendiri yang suka berteriak-teriak histeris tanpa sebab dengan wajah ketakutan. Bagi warga kampung Lingga, kondisi demikian sudah dianggap wajar, terlebih sebagian dari mereka telah sangat paham tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga mengalaminya sendiri walau tak sempat menjadi gila.
Seiring perjalanan waktu, Nyak Dollah pun mencoba memahami keadaan ibunya dan orang-orang yang mengalami nasib serupa di kampung itu. Lagi pula, dia juga masih ingat betul dengan cerita ibunya tentang kejadian yang menimpa dirinya saat ia masih bayi. Dia bisa membayangkan kengerian itu dengan sangat nyata, sangat dekat dan kadang-kadang muncul dalam mimpinya, walau saat kejadian itu terjadi dia sama sekali tidak sadar karena usianya baru menginjak dua tahun. Namun, cerita yang ia dengar dari mulut ibunya, yang selalu diulang-ulang hingga dia dewasa, membuat ia memendam amarahnya sendiri. Mulai saat itulah tumbuh satu minat di hatinya, minat yang ia pendam sendiri selama bertahun-tahun.
Saat usianya menginjak 26 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk menikah, Nyak Dollah mulai dekat dengan seorang gadis. Sama seperti nasib ayahnya sendiri, ayah gadis itu juga hilang tak berjejak. Namun, gadis itu masih beruntung karena ibunya tidak sampai menjadi gila. Kesamaan nasib itulah yang membuat mereka semakin dekat dan memutuskan untuk menikah. Akan tetapi Nyak Dollah ingin menunda pernikahan itu setahun lagi.
“Aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini dalam satu tahun saja. Setelah itu aku akan kembali,” kata Nyak Dollah saat itu.
Si gadis mengangguk. Dia paham betul dengan maksud pemuda itu. Lagi pula mereka sudah pernah membicarakan hal itu sebelumnya, ketika awal-awal mereka bertemu. Maka mulailah Nyak Dollah mengatur siasat untuk merantau ke Medan. Namun, kondisi ibunya yang terus menjadi-jadi dan suka berjalan-jalan di malam hari membuat pemuda itu sedikit bimbang. Tak tega rasanya jika ia harus meninggalkan ibunya sendirian. Tapi, ia coba membulatkan tekad. Walau bagaimana pun dia harus ke Medan. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan, apalagi informasi yang didapatnya dari seseorang yang baru pulang di sana sudah sangat terang dan jelas. Dia harus segera berangkat.
Maka dia pun menemui Suti, gadis yang hendak dinikahinya itu. Dia menyampaikan keinginannya untuk segera berangkat ke Medan malam itu juga. Meskipun setuju, tapi Suti meminta pemuda itu untuk tidak terburu-buru. Dia meminta kekasihnya berangkat besok pagi saja agar ia bisa menemaninya ke terminal.