Untuk selanjutnya saya sebut Tomi saja, sebab panggilan itulah yang populer di kampung kami. Dia cukup dikenal dengan nama itu, bukan saja di Lingga, tapi juga kampung-kampung lain sekitaran Sigli. Laki-laki dengan tahi lalat di jidat bagian kiri itu memiliki nama lengkap Bustami. Awalnya orang-orang Lingga memanggilnya dengan si Bus, tapi ketika usianya menginjak 20 tahun, dia melarang panggilan itu. Dia ingin dipanggil Tomi saja, seperti nama anak Nek To, maksud saya anak presiden Soeharto yang terkenal kaya raya itu.
Atas permintaannya sendiri akhirnya panggilannya pun berubah menjadi Tomi. Kalau ada yang memanggilnya si Bus, itu hanya Abu dan Maknya yang memang sudah biasa memanggilnya demikian. Dia dilahirkan dari keluarga petani, sama seperti saya dan juga orang-orang lain di kampung kami. Tapi, walau pun petani, Abunya sempat menjadi anak buah Teungku Daud Beureueh. Namanya Nyak Ali Samidun. Dia pernah bergabung dengan DI TII dan hampir mati ditembak tentara dalam satu penyergapan di Beureuenun, tapi syukur orang tua itu selamat.
Jadi, selain memiliki satu pelir dan rante bui, keberanian Tomi juga diwarisi dari Nyak Ali Samidun, pejuang DI TII yang cukup dikenal di Kampung Lingga. Tomi memiliki satu orang abang dan dua adik perempuan. Namun abangnya tidak berusia panjang. Dia meninggal saat berusia 17 tahun, terseret arus sungai saat banjir besar melanda Kampung Lingga.
Sama seperti saya, sebagai anak petani, Tomi tumbuh menjadi anak yang mandiri sejak kecil. Tomi hanya tamat SD dan tidak lagi melanjutkan sekolah, sementara saya sempat duduk di kelas 1 SMP, tapi kemudian keluar karena harus membantu orangtua mencari nafkah. Saya dan Tomi harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari memanjat kelapa, memanjat pinang dan juga menjadi buruh di sawah.
Saat usia Tomi menginjak 35 dan saya 34, kampung kami dihebohkan dengan kemunculan Aceh Merdeka, satu gerakan perlawanan yang dibangun Hasan Tiro. Tomi bergabung dengan kelompok tersebut, yang saat itu masih dikenal sebagai AM (Aceh Merdeka). Namun, karena suatu peristiwa tak mengenakkan, di kemudian hari Tomi dikeluarkan dari AM, setelah sebelumnya dihukum sebat di hutan.
Ceritanya memang sedikit rumit. Seperti saya katakan sebelumnya, kalau Tomi itu memang bandel sejak kecil. Orang-orang kampung kami menyebutnya dengan batat tulo ase, level kebandelan paling ekstrem yang tidak mungkin lagi disembuhkan dengan nasihat, doa atau pun rajah. Parah betul memang.
Selain suka berburu babi dan mencuri uang di kuburan Habib, di mana sesekali dia mengajak saya, Tomi juga suka main perempuan. Namun, pada yang terakhir ini dia jarang sekali mengajak saya. Dia sering beraksi sendirian. Hampir semua gadis di kampung Lingga pernah ia goda. Satu sisi, Tomi memang memiliki wajah lumayan; hidungnya mancung, kulitnya sedikit bersih, kumisnya tebal, bulu dadanya lebat, dan satu lagi, tubuhnya sedikit lebih tinggi dari saya. Dengan modal itulah dia merayu gadis-gadis di kampung kami. Dan boleh dibilang, hampir semua gadis yang ia rayu akan tunduk begitu saja di hadapan Tomi. Mereka tidak mampu melawan rayuan Tomi, persis seperti ular yang dijepit batang rumbia, lemas dan tak mampu lagi bergerak.
Karena sudah mendarah daging akhirnya kebiasaan ini juga dia bawa saat bergabung dengan AM. Saat itu, entah bagaimana caranya dia berhasil meniduri seorang perempuan di hutan. Sialnya suami si perempuan juga anggota AM, bahkan seorang panglima. Maka meledaklah kemarahan Pang Husen kala itu. Sebagai pemimpin pasukan AM, dia merasa harga dirinya telah dicemarkan Tomi. Maka dia pun memerintahkan pasukan AM untuk mengikat Tomi di dalam hutan, pada sebatang kayu besar. Saat itu, saya yang juga sudah bergabung dengan AM hanya bisa berdiri melihat Tomi dicambuk dengan rotan. Satu sisi saya ingin membela abang sepupu saya, Tomi, tapi di sisi lain, kemarahan Pang Husen sudah serupa ledakan merapi, tak mungkin dibendung lagi. Masih syukur dia tidak menembak Tomi dengan AK-47. Mungkin dia juga tahu kalau Tomi punya satu pelir dan rante bui. Buktinya, sebatan rotan sama sekali tidak membuat Tomi kesakitan.
“Padahal orang-orang macam kamu sangat dibutuhkan untuk perjuangan AM, tapi kamu membuang-buang diri, melakukan dosa!” kata Pang Husen saat melepaskan ikatan di tubuh Tomi. Dia memang sangat marah kepada Tomi karena meniduri istrinya, tapi dia juga sadar kalau dia sangat butuh orang-orang kebal seperti Tomi. Namun, karena kesalahan itu sangat fatal, dia memutuskan mengeluarkan Tomi dari barisan AM.
“Ini adalah perjuangan suci, tak boleh dikotori perbuatan jahannam seperti itu,” seru Pang Husen sekali lagi, saat melihat Tomi pergi meninggalkan hutan.
*
Dua hari setelah peristiwa itu, saya kembali bertemu Tomi di kampung Lingga. Saat itu saya ditugaskan Pang Husen untuk mengambil beras dan beberapa bungkus rokok dari seorang tauke di kota Sigli. Namun, karena hari masih terlalu pagi dan dingin masih begitu lekat, saya memutuskan untuk menemui Tomi lebih dulu.
Saat matahari masih mengendap-endap di ufuk timur, saya pun menyambangi Tomi di rumah orangtuanya. Saat itu, saya mendapati Tomi tengah duduk seorang diri pada anak tangga rumah panggung yang di depannya dipenuhi pohon kelapa. Samar-samar terlihat sarang tempua di atas sana, bergelantungan pada dahan kelapa. Ke sanalah pandangan Tomi menuju pagi itu.
“Salam alaikom!” ucap saya, membuat Tomi tiba-tiba menoleh.
Laki-laki itu turun dari anak tangga dan segera memeluk saya.
“Kau masih bergabung dengan AM?” tanya Tomi.
“Sampai sekarang masih,” jawab saya, seraya mengangguk pelan. “Pang Husen memberi perintah untuk mengambil beras dan rokok pada Tauke Duki di Sigli,” lanjut saya.