Memasuki tahun 1989, pasukan Pang Husen sangat terbantu dengan kepulangan anak-anak Aceh dari Libya. Ada puluhan tentara yang dilatih di sana dan mereka sudah cukup mahir dalam peperangan. Sebagian dari mereka bergabung dengan kami dan tunduk di bawah komando Pang Husen yang sudah lebih dulu menjalani pendidikan militernya di Libya pada 1986. Pang Husen adalah salah seorang angkatan pertama yang berangkat ke Libya bersama Wali Hasan Tiro. Maka, Pang Husen meminta kepada tentara AM yang baru pulang dari sana untuk memberi latihan militer kepada kami yang belum punya kesempatan berangkat ke Libya.
Berkat pendidikan militer yang diberikan mereka, kemampuan tempur kami pun semakin baik, walau dari segi persenjataan boleh dibilang saat itu belum memadai. Hanya orang-orang tertentu yang diberikan senapan. Syukur saya dan Tomi berada dalam barisan yang memegang senapan. Sementara sebagian pasukan lainnya terpaksa menggunakan senjata rakitan atau sekadar menjadi pengangkut peluru ketika pertempuran berlangsung.
Namun begitu, saat itu kami sudah berhasil menoreh beberapa prestasi gemilang. Beberapa teman kami berhasil menembak mati seorang komandan tentara dan beberapa anggota angkatan bersenjata lainnya pada penghujung Mei 1989. Dalam beberapa penyerangan lain di pos militer, kami juga sukses merebut puluhan pucuk senapan. Tomi dengan tubuhnya yang kebal berhasil merampas tiga senapan sekaligus dari beberapa tentara yang sedang melakukan kerja bakti. Kami merayakan kemenangan itu dengan membakar kambing di kamp.
Sejak saat itu dakwah yang kami lakukan juga semakin meluas. Yang bertindak sebagai pembicara dalam acara-acara seperti itu adalah juru penerangan AM, di antaranya Teungku Ubit, Teungku Bentara dan Teungku Lutan. Sementara kami, sebagai pasukan militer AM bertugas menjaga keamanan dalam kerumunan, dan teman-teman kami yang lain bertugas sebagai pemantau keamanan di perbatasan kampung untuk berjaga-jaga agar tidak ada militer Indonesia yang masuk ke arena dakwah. Pasukan ini tidak membawa senapan, hanya membawa radio, untuk memberi informasi kepada kami jika tiba-tiba ada pergerakan pasukan Indonesia ke lokasi dakwah. Jika pergerakan benar-benar terjadi, maka juru penerangan AM akan segera mengganti topik dakwah yang awalnya berisi ajaran Aceh Merdeka menjadi dakwah maulid, dakwah israk mikraj, dakwah 1 Muharram, atau secepat kilat diganti dengan lagu-lagu kasidah.
Begitulah cara kami mengelabui militer Indonesia. Namun, seperti tupai yang kadang-kadang jatuh ke tanah, sesekali strategi kami juga dapat dibaca dengan baik oleh aparat, dan lalu sebagian dari kami dijadikan TPO, gambar kami di pasang di mana-mana dengan tulisan buronan di atasnya. Karena itu kami pun menggunakan sandi untuk nama-nama anggota AM, baik yang sudah dikenal aparat, maupun yang belum. Maka sejak itu, di antara kami ada yang menggunakan nama tungkik, limpeun, rimueng, geuleupak, bace, ek beuso, aneuk janeng dan sebutan-sebutan lainnya untuk penyamaran sehingga penduduk menjadi akrab dengan nama-nama tersebut dan tak mengingat lagi nama kami yang asli. Jadi, ketika ada tentara yang menanyakan keberadaan Pang Husen misalnya, mereka akan mengatakan tidak tahu, sebab namanya sudah berganti menjadi Teungku Tripoli.
Saat itu, untuk melawan gerakan kami yang semakin meluas, tersiar kabar kalau Gubernur Aceh meminta bantuan militer Indonesia. Saya tidak tahu entah apa yang ada di pikiran Gubernur Aceh kala itu, tega-teganya dia ingin menumpas bangsanya sendiri. Atas permintaan gubernur, pemerintah kolonialis Jawa pun mengirimkan beribu-ribu tentara ke Aceh. Operasi Jaring Merah pun dimulai.
*
Pada penghujung tahun 1989, saya dan Tomi meminta izin kepada Pang Husen untuk kembali ke kampung beberapa hari dengan alasan ingin menjenguk Mak Tomi yang sedang sakit. Izin diberikan, tapi karena kondisi keamanan yang tidak menentu, kami dilarang membawa pulang senapan. Kami juga disumpah agar jika nanti kami tiba-tiba tertangkap, kami harus tutup mulut dan tetap menjaga rahasia perjuangan.
Tiba di kampung, saya menjenguk Mak saya sendiri dan Tomi pun begitu, menjenguk Maknya yang sakit demam. Selama dua hari di kampung, saya dan Tomi menghindari dari penduduk dan lebih sering di rumah. Untuk sementara kami memang harus memutus komunikasi dengan mereka, sebab kondisi keamanan benar-benar tidak menentu, tentara melakukan patroli di mana-mana.
Namun, tanpa dinyana, tiga hari kemudian kampung kami dihebohkan dengan satu peristiwa yang seharusnya tidak lagi terjadi. Saya benar-benar tak habis pikir dan terkejut bukan kepalang. Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Takdir memang memiliki jalannya sendiri.
Malam itu, hujan turun begitu deras, membuat lekukan tanah di pekarangan rumah saya digenangi air. Di beberapa kubang yang ditumbuhi pohon rumbia, puluhan kodok berteriak-teriak membentuk melodi ‘ek ‘ok, melodi yang seperti itu-itu saja. Saya duduk di ambang pintu, menikmati pisang rebus buatan Mak, seraya sesekali menyesap rokok.
Dari kejauhan, di sela-sela suara hujan, saya seperti mendengar keributan. Awalnya saya tidak begitu peduli, sebab hujan masih deras. Namun, semakin lama suara itu semakin gaduh saja. Saat itulah saya melihat seorang laki-laki berlari dalam hujan, mendekat ke rumah saya. Melihat saya duduk di ambang pintu, dia pun menaiki tangga, “Tomi ditangkap,” katanya dengan suara terengah-engah, seraya menyeka air hujan yang membasahi wajahnya.
Saya terperanjat, sisa pisang rebus yang masih terkulum di mulut saya tiba-tiba saja keluar dan jatuh ke lantai. Saya segera meminta laki-laki itu untuk naik ke rumah. Laki-laki bernama Usman itu pun naik dan duduk di samping saya. Dia bersandar pada dinding kayu seraya memeluk lutut, sepertinya dia kedinginan.
“Apa ada banyak tentara di sana?” tanya saya.
“Gak ada, Bang,” jawabnya cepat.
“Tadi kau bilang Tomi ditangkap,” timpal saya, sedikit heran.
Usman tersenyum, “Bukan begitu, Bang,” katanya.