Dua hari setelah kami kembali ke kamp, berita itu pun menyebar begitu cepat, menembus lebatnya hutan belantara dan akhirnya bertengger di telinga Pang Husen. Seketika itu pula teman-teman kami memandang Tomi dengan sinis, penuh perasaan jijik, dan sekiranya dia bukan berpelir satu dan tak memiliki rante bui, maka mereka pasti sudah menghajarnya seperti babi.
Namun, sampai dengan hari kelima kami di sana, Pang Husen belum berkata apa-apa. Dia hanya terlihat murung. Mungkin dia menyesal telah menerima kembali Tomi sebagai anggota AM. Jika itu benar, maka tentulah saya ikut menanggung risiko, sebab sayalah yang merayu Pang Husen untuk kembali menerima Tomi. Maka, sejak saat itu, setiap mata Pang Husen menatap saya, jantung saya berdegup kencang. Ada perasaan ngilu yang menusuk-nusuk hati saya. Namun, saya mencoba bersikap tenang.
Saya sempat berpikir untuk menjelaskan semuanya kepada Pang Husen, tapi urung. Keberanian saya sudah lenyap sejak Tomi mengulang kesalahannya dengan meniduri Salamah. Kadang-kadang saya sendiri merasa kesal dengan ulah Tomi yang selalu saja jatuh ke lubang yang sama, tapi saya tidak punya cukup keberanian untuk menasihatinya, karena dia selalu punya banyak alasan untuk membela diri. Di sisi lain, saya juga tahu betul kalau Tomi sebenarnya memiliki hati yang lembut, meskipun sikapnya sering tak masuk akal; suka mencuri dan berkelahi.
Saya ingat, suatu hari dia pernah mengajak saya mencuri kambing milik Keuchik. Awalnya saya menolak. Namun, setelah mendengar alasan Tomi, pikiran saya berubah. Saya justru menjadi begitu bersemangat untuk mencuri dan membuat Keuchik jera dan kalau perlu membuat dia menangis berhari-hari. Apa yang dilakukan Keuchik terhadap Bang Baka, seorang warga miskin di Kampung Lingga memang sudah di luar batas.
“Kautahu kalau sudah hampir tiga kali hari raya Bang Baka tidak diberikan zakat?” tanya Tomi pada saya saat itu, selepas shalat Idul Fitri di halaman masjid.
Saya menggeleng, dan lalu Tomi menceritakan dengan detail tentang sikap Keuchik di kampung kami. “Ada beberapa orang di kampung kita yang tidak diberikan zakat,” kata Tomi, “di antaranya Bang Baka. Kurang ajar betul dia,” lanjut Tomi sambil menyeringai, membuat gigi atasnya yang sedikit jarang terlihat jelas.
“Memangnya apa alasan Keuchik gak memberi zakat untuk Bang Baka?” tanya saya, “bukankah pembagian zakat itu urusan Teungku Imum?”
“Alah, macam tak kenal saja kau sama Keuchik,” sergah Tomi, “dia itu memang dari nenek-moyangnya sudah begitu, suka ikut campur urusan orang lain. Kautahu kenapa Bang Baka tak diberi zakat? Katanya, karena Bang Baka jarang shalat di meunasah, kan pukimak dia. Apa urusan dia, orang mau shalat di mana saja kan urusan mereka sendiri, apa urusan Keuchik?”