Setelah satu minggu berada di kamp, Pang Husen memanggil saya dan Tomi untuk menghadap. Saat panggilan itu datang, jantung saya berdegup kencang, hampir saja jatuh dan menggelinding dalam semak dan batang-batang kayu di hutan nan lebat itu. Ada pun Tomi, dia terlihat begitu tenang dan damai. Tak ada tanda-tanda gelisah di wajahnya. Sebaliknya, dia justru tersenyum-senyum sendiri, seolah baru meniduri bidadari malam tadi.
Saya berjalan sedikit gontai dan langkah saya begitu malas, sementara Tomi berjalan tegak dan begitu percaya diri. Kenapa dia bisa seberani itu? Apakah karena dia memiliki satu pelir dan rante bui? Entahlah, kadang-kadang saya pun bingung dengan sikap Tomi yang demikian.
Kamp Pang Husen agak terpisah dari kamp kami, agak ke selatan, ke arah menuju sungai. Saya pikir wajar, karena dia membawa serta istrinya ke hutan. Bukan istri yang dulunya sempat ditiduri Tomi, tapi istri pertamanya. Istri kedua yang sempat ditiduri Tomi sudah ia ceraikan dua hari hari setelah insiden itu terjadi. Namun, perempuan itu tetap diperintahkan untuk berada di kamp, sebagai juru masak tentara AM. Dia tidak mau melepaskan perempuan muda itu untuk kembali ke kampung halamannya sendiri, sebab jika itu terjadi, bisa saja perempuan itu melaporkan keberadaan kami pada si Pa-i.
“Apa lagi kau buat?” tanya Pang Husen pada Tomi, tak lama setelah kami menghadapnya di kamp selatan.
“Mana ada saya buat,” jawab Tomi tegas, seolah yang bertanya hanya anak kecil.
“Aku dengar kau perkosa anak Haji Daka,” tuding Pang Husen dengan mata menyala. Yang dimaksud anak Haji Daka oleh Pang Husen adalah Salamah.
Mendengar itu, Tomi hanya tersenyum sambil mata kirinya mengerling ke arah saya. Tentu saja saya tidak merespons dan tetap berdiri bagai patung yang baru saja dipahat. Saya menungkul wajah ke tanah, tak berani menatap Pang Husen yang duduk di hadapan kami. Dia duduk pada potongan kayu bedaru di depan kamp, seraya kedua tangannya memeluk Ak-47. Senapan itu memang sudah seperti istrinya sendiri, tak pernah sekali pun lepas dari tangannya.
“Maaf, Pang. Saya tidak perkosa,” jawab Tomi kemudian, “kami memang sudah ada rencana menikah. Cuma saja malam itu saya lagi nahas, tidak bisa pulang karena hujan.”
“Jadi kau mau salahkan hujan?” sindir Pang Husen.
“Bukan begitu, Pang.”
“Apa juga? Dulu waktu kau tiduri si Suwaibah (yang ia maksud adalah istrinya) kan tidak ada hujan? Siapa yang hendak kau salahkan? Memang buditmu yang gatal!” bentak Pang Husen dengan mata yang semakin menyala.
Tomi menarik napas dalam, tak segera menjawab. Walau bagaimana pun dia tahu betul apa yang akan terjadi jika Pang Husen semakin marah. Meskipun Pang Husen tidak kebal senjata seperti dirinya, tapi laki-laki itu bisa melakukan apa pun untuk menumpas Tomi hari itu juga.
“Mulai hari ini kau jangan lagi bergabung dengan kami. AM tidak butuh orang-orang berbudit gatal seperti kau. Sekarang kembalikan senapanmu dan pergi dari sini. Kau bukan saja mempermalukan AM di depan penduduk, tapi juga membuka celana ayahmu sendiri. Kautahu, ayahmu, Nyak Ali Samdidun, adalah bekas pejuang. Dia pasti kecewa punya anak seperti kau.”