Dua minggu berada di kampung, saya merasakan kebosanan yang luar biasa. Kebosanan yang tak pernah terjadi sebelumnya, ketika saya dan Tomi belum bergabung dengan AM. Saya merasakan seperti ada sesuatu yang hilang, sejenis kehampaan yang sulit saya gambarkan. Dari pagi ke petang saya hanya bermalas-malasan di rumah. Saya menghabiskan hari-hari bersama Mak yang terlihat semakin tua. Ada pun Tomi tinggal di rumah orangtuanya sendiri, bersama Mak dan Abunya, juga Salamah, istrinya; sementara kedua adik perempuannya sudah lama menikah dan tinggal bersama suami mereka sendiri.
Kampung Lingga, tempat saya dan Tomi dilahirkan memang tidak terlalu jauh dari kota Sigli. Kalau kami mau, kami bisa main ke sana kapan saja. Tapi tidak adanya pekerjaan yang kami lakukan selama pulang dari hutan membuat kantong semakin kerontang. Jangankan ke kota, sekadar duduk manis di kedai kampung saja malunya setengah mati. Bagaimana tidak, dua orang anggota AM yang sangat disegani dan ditakuti akhirnya menjadi sampah di kampung sendiri, menjadi olok-olok, terlebih ketika berita pemecatan kami oleh Pang Husen tersebar luas di kampung-kampung. Bahkan ada beberapa anak kecil yang sengaja melintasi rumah kami seraya memanggul dahan kelapa yang sudah diiris serupa bedil, seolah ingin mengejek senapan kami yang sudah hilang.
Kalau saya ingat-ingat lagi, sebenarnya bukan cuma anak kecil yang meledek kami, bahkan beberapa orang dewasa juga begitu. Tentu saja dengan cara yang menurut mereka lebih terhormat. Tak seperti anak kecil yang sengaja memanggul bedil dari dahan kelapa di depan kami, orang-orang dewasa ini ternyata lebih sadis. Ketika tak sengaja berpapasan dengan kami, mereka langsung menegakkan tubuhnya, memberi hormat ala militer, seolah kami adalah komandan mereka. Model begini tentu lebih menyakitkan ketimbang tindakan anak-anak yang otak mereka memang masih setengah. Kadang-kadang saya merasa begitu terhina dan ingin mematahkan tulang-tulang mereka, tapi urung saya lakukan mengingat sekarang ini saya dan Tomi bukanlah siapa-siapa. Seperti puisi Chairil Anwar yang terkenal itu, bahwa sekarang kami telah menjelma seperti binatang jalang, dari kumpulan terbuang.
*
Untuk menghilangkan kejenuhan, pada suatu pagi yang dingin, Tomi mengajak saya berburu babi di hutan. Saya ingat, saat itu Agustus 1990. Namun, karena langit terlihat mendung dan dingin begitu menusuk, saya menolak ajakan Tomi. Saya katakan kalau sekarang bukan saatnya berburu babi, tapi saatnya mencari hiburan ke kota.
“Kita bisa bersantai dan melihat-lihat mobil lewat di terminal,” kata saya pada Tomi.
“Tapi, uang tak ada, bagaimana ke kota?” tanya Tomi yang hari itu sudah siap dengan tombak di tangan.
“Kita ke kuburan Habib,” usul saya.
Tomi tersenyum geli. Mungkin dia terkenang dengan ulah kami saat masih remaja dulu.
“Tapi, gak bisa pagi-pagi begini, pasti banyak orang. Ada bileu juga,” kata Tomi kemudian.
“Kita ambil sedikit saja, sekadar untuk ongkos labi-labi dan uang rokok,” ujar saya.
“Ya, tapi bagaimana caranya?” tanya Tomi lagi.
Lalu saya pun membisikkan sesuatu di telinga Tomi. Mendengar bisikan saya, dia mengangguk sambil tertawa cekikikan. “Baiklah. Aku simpan tombak ini dan ganti pakaian dulu,” katanya, seraya berlari ke rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah saya.
Sepuluh atau lima belas menit kemudian Tomi kembali dengan pakaian yang terlihat sedikit rapi. Saya pun begitu, sudah mengganti pakaian saat Tomi pulang ke rumahnya.
Lalu kami pun mengatur langkah menuju masjid. Dalam perjalanan, seperti saya katakan tadi, ada beberapa orang kampung yang memberi hormat kepada kami. Namun, saya katakan pada Tomi untuk membiarkan saja orang-orang bodoh itu memamerkan kegilaan mereka sendiri. “Kita ada misi yang lebih penting ketimbang melayani mereka,” kata saya, seraya terus berjalan dan membuang muka dari orang-orang kurang ajar itu.
Sesuai rencana, tiba di masjid, saya pun menemui bileu, sementara Tomi, perlahan berjalan ke arah belakang tanpa sepengetahuan bileu yang saat itu sedang sibuk dengan kulah besar di utara masjid. Saya menawarkan diri untuk membantu membersihkan kulah dan lantai.
“Hari ini, kita kerja sama-sama,” kata saya, “hitung-hitung buat nambah amal,” lanjut saya seraya melempar senyum.
Bileu menyambut bantuan saya dengan senyum mengembang dan tanpa ada tanda-tanda kecurigaan sedikit pun di wajahnya yang lugu. Mungkin dia berpikir kalau pekerjaannya hari itu akan sedikit lebih ringan. Maka mulailah kami membersihkan kulah dan mengepel lantai bersama-sama sambil sesekali bercanda riang.