Samson yang hari itu memakai kemeja putih dan celana hitam bangkit dari kursi, menuju dispenser yang terpajang di pojok ruangan. Dia mengambil dua gelas minuman dan lalu kembali ke kursi, menyodorkan satu gelas untuk Nyak Raja yang sedari tadi bercerita dengan penuh semangat. “Minum dulu, Pak,” kata Samson, seraya menatap Nyak Raja yang tampak lelah setelah berbicara hampir seharian. “Terima kasih,” ujar laki-laki sepuh bermulut kecil itu, dan lalu meneguk minuman, membasahi tenggorokannya yang mulai kering.
“Cerita Bapak cukup menarik dan berhasil membuat saya terdiam bagai patung. Namun, saya belum menemukan apa yang saya cari,” kata Samson sambil menguap pelan.
“Itu belum habis, Pak. Masih panjang lagi,” sahut Nyak Raja dengan mata berbinar. “Boleh merokok?” tanya Nyak Raja kemudian. Dia merasakan bibirnya begitu asam dan ingin segera mengembuskan asap dari mulutnya yang kecil.
“Oh, boleh silakan, Pak. Saya juga merokok,” kata Samson sambil menjumput bungkus rokok Marlboro Light dari kantong kemeja putihnya. “Ini ada,” lanjut Samson sembari menyorong bungkusan berwarna putih itu ke hadapan laki-laki di depannya.
“Oh, jangan,” timpal Nyak Raja, “Ini saya ada bawa tadi,” ujarnya kemudian dan lalu mengeluarkan sebatang Djie Sam Soe yang telah penyek dari kantong celananya.
Sejenak laki-laki sepuh itu pun menyesap asap tembakau itu dengan mata mendelik. Asap keluar dari mulut dan hidungnya yang bagai cerobong. Samson yang melihat pemandangan itu tak mau kalah, dia pun mengembus asap putih itu dari mulutnya, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang mengapung di bawah langit-langit ruangan.
“Menyimak cerita Bapak tadi, saya jadi tahu kalau rante bui bisa membuat kebal. Apa betul itu? Tanya Samson di sela-sela keheningan.
“Ya, begitulah,” jawab Nyak Raja, “begitulah keyakinan orang-orang kami di sana. Dan memang saya menyaksikannya sendiri. Bahkan saya ada dengar cerita dari orang-orang tua dulu kalau pahlawan kami, Teungku Chik Di Tiro juga memiliki rante bui saat berperang dengan Belanda. Tapi apakah rantai itu benar-benar didapatkan dari tubuh babi itu saya tidak tahu persis, tapi kata orang-orang memang begitu. Konon, menurut riwayat yang saya dengar, rantai itu tersangkut di hidung babi. Namun, saat babi-babi itu makan, dia akan melepas rantainya ke tanah. Saat itulah orang-orang mencuri rantai itu dari babi untuk dijadikan jimat.”
“Jadi, dengan rantai itu kita akan benar-benar kebal?” sidik Samson penasaran.
“Ya, begitulah. Saya juga ada dengar cerita tentang Teungku Cot Plieng. Konon dia berhasil dibunuh Belanda, tapi jasadnya tidak membusuk, sampai kemudian ada seseorang yang melepas rante bui di tubuhnya. Setelah rantai diambil, barulah jasad itu membusuk.”
“Oh, begitu, ya?” Samson mengangguk-angguk, entah percaya atau tidak.
“Tapi, itu betul, Pak,” ujar Nyak Raja lagi, seraya menempuk-nepuk abu rokoknya pada asbak kaca di atas meja.
“Lalu, kenapa sekarang Tomi bisa mati? Maksud saya kenapa dia bisa dibunuh?”
Mendengar pertanyaan Samson, Nyak Raja tampak kelimpungan, keningnya berkerut, seolah sedang berpikir keras. Digaruk-garuk kepalanya yang kini plontos. Namun, dia tidak menemukan jawaban yang bisa diandalkan untuk diajukan pada Samson.
“Tadi kata Bapak kalau ada rante bui orang itu akan kebal senjata. Tapi kami menemukan ada bekas luka tusuk di tubuh Pak Tomi,” tambah Samson.
“Ya, kalau itu saya gak paham juga, Pak. Boleh jadi rante bui itu sudah tidak ada lagi, atau bagaimana saya tidak begitu jelas. Sebab lama juga saya tidak bertemu Tomi,” balas Nyak Raja, mencoba mengakhiri kebingungannya sendiri.