Februari 2016—Satu Tahun Sebelum Tragedi Bidara Residence
Jam 7 pagi, bus yang ditumpangi Nyak Dollah tiba di terminal Kota Medan. Demi mengisi perutnya yang sudah mulai bernyanyi, pemuda itu langsung turun dan berjalan terburu-buru ke sebuah warung di area terminal. Dia memesan sepiring nasi dan segelas teh hangat untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Padahal, malam tadi bus sempat berhenti di kota Idi. Namun, saat itu Nyak Dollah memilih melanjutkan tidur, sementara penumpang lainnya turun berhamburan untuk menikmati makanan.
Tak sampai lima menit, makanan di piringnya tandas tak bersisa. Dia benar-benar lapar. Usai menuang beberapa teguk teh hangat ke dalam mulutnya, pemuda itu duduk menatap sekeliling. Dia melihat pemandangan yang begitu asing. Tidak ada seorang pun yang ia kenal di sana. Saat itu, telinganya memang berhasil menangkap suara–suara yang sedang bercakap-cakap dengan bahasa Aceh., bahasa kampungnya sendiri. Namun, dia tak berani menegur dan hanya melirik mereka dengan pandangan getir.
Setelah duduk hampir setengah jam, Nyak Dollah membuka tas kecil yang ia bawa. Tas itu hanya berisi beberapa pasang pakaian saja. Dia memeriksa rencong yang diberikan kekasihnya, masih ada. Satu sisi dia merasa ngeri membawa benda itu, dia takut ada razia polisi. Namun, di sisi lain, dia membutuhkan benda itu. Nyak Dollah menutup kembali tasnya, meletakkannya di atas meja.
Sekarang pikirannya bergelayut sendiri. Dia tidak tahu harus ke mana. Tak ada seorang pun yang ia kenal di kota asing itu. Dia berangkat ke sana hanya bermodalkan keterangan yang diberikan seseorang di kampungnya. Wak Saleh, demikian nama orang itu, hanya memberikan secarik kertas berisi alamat rumah yang terletak di Bidara Residence.
Wak Saleh adalah temannya ayahnya, yang di masa perang pernah ditangkap aparat, tapi kemudian dilepaskan lagi setelah ditebus dengan seekor kerbau. Kepada Nyak Dollah, Wak Saleh menerangkan ciri-ciri Bustami, laki-laki yang telah mengubah hidupnya. Atas keterangan itulah Nyak Dollah memberanikan diri berangkat seorang diri ke Medan. “Gigi depannya agak jarang dan di jidat bagian kiri ada tahi lalat,” demikian kata Wak Saleh saat itu.
Nyak Dollah meninggalkan warung dalam keadaan gamang, tak tahu harus melangkah ke kiri atau ke kanan, ke timur atau ke barat. Akhirnya dia memutuskan berjalan-jalan dulu di area terminal sembari telinganya dibuka lebar-lebar, agar ketika ada orang-orang yang bercakap dengan bahasa Aceh, dia bisa segera mendekat. Kali ini dia nekat akan menegur mereka. Tak mau dia tersesat di tengah kota yang di matanya terlihat bagai belantara.
Setengah jam berjalan, Nyak Dollah melihat seorang pedagang buah di pojok terminal. Dari model wajah, Nyak Dollah coba menebak kalau orang itu adalah orang Aceh. Tanpa berlama-lama, ketika seorang pembeli meninggalkan lapak, pemuda itu pun bertanya, “Abang orang Aceh, ya?”
Mendapat pertanyaan tiba-tiba, laki-laki itu terkejut dan lalu tersenyum, “Nyoe, paken?” tanya laki-laki itu sambil mendongak. “Oh, tanya aja Bang,” jawab Nyak Dollah sedikit malu.
“Apa baru sampai di sini, ya?” Laki-laki itu kembali bertanya.
“Ya, Bang. Baru saja sampai tadi pagi,” ucap Nyak Dollah, dan lalu duduk pada kursi plastik, tak jauh dari rak berisi buah-buahan.
“Apa tidak ada lagi kerja di Aceh, sampai kamu harus ke mari?”
“Bukan, Bang. Saya mau ke rumah saudara saya. Tapi saya tidak tahu jalannya.”
“Medan ini luas, Dek Gam. Jangankan kamu, salah-salah saya juga bisa tersesat.”
“Tapi, saya ada bawa alamatnya,” jawab Nyak Dollah seraya menyodorkan secarik kertas berisi alamat kepada laki-laki setengah baya itu.
Dengan mata setengah memicing, laki-laki itu tampak mengeja tulisan yang ada di sana. Sayang sekali matanya gagal menangkap tulisan di sana.
“Kacamata saya tertinggal. Coba kamu baca sendiri!” pinta laki-laki itu.
“Bidara Residence, Bang.”
Laki-laki yang kemudian diketahui bernama Mahmud itu berpikir sejenak, menengadahkan wajahnya ke langit dan lalu menatap wajah Nyak Dollah.
“Ini perumahan orang kaya, buat apa kamu ke sana?”
“Ada saudara di sana, Bang.”
“Kamu ada bawa uang?”
“Ada, Bang.”
“Baik. Tunggu sebentar. Ada HP?”
“Ada, Bang.”
Lalu laki-laki itu mengambil HP dari tangan Nyak Dollah dan menelepon seseorang.
Lima belas menit kemudian sebuah mobil Avanza hitam berdiri tepat di depan kios, tempat Nyak Dollah dan Mahmud sedang berbincang.
“Ini taksi kawan saya. Taksi liar. Kamu naik saja. Nanti kamu akan diantar ke sana,” kata Mahmud sambil menepuk-nepuk bahu Nyak Dollah. “Tapi kamu harus hati-hati. Ini Medan!” katanya lagi, sesaat setelah Nyak Dollah memasuki mobil.