Lima hari setelah kedatangannya ke kantor polisi, Nyak Raja kembali berencana menemui Samson. Kali ini dia sengaja mengajak Abduh untuk menemaninya ke sana. Tidak ada lagi yang perlu ditutupi, pikir Nyak Raja. Lagi pula, kemarin dia sudah menceritakan semuanya kepada Abduh, membuat pemuda itu mengurut dadanya sendiri. Namun, ia berusaha menerima kenyataaan pahit itu, apalagi, seperti kata Nyak Raja, ayahnya, bahwa apa yang dia lakukan bersama Tomi adalah bentuk kesetiaan kepada tanah air, kepada Ibu Pertiwi dan Merah Putih.
Ayah dan anak itu tiba di kantor polisi sekira pukul sembilan pagi. Seperti biasa, Abduh memilih menunggu di luar gerbang, pada sebuah kantin tempat ia duduk tempo hari. Tidak ada lagi yang harus ia dengar, pikirnya, sebab semuanya sudah seterang matahari. Hanya saja dia ingin memastikan keselamatan ayahnya agar tidak mengalami nasib sial seperti pamannya. Walau kematian Tomi sendiri belum begitu jelas sebab musababnya, tapi pikiran liarnya tetap saja menggiringnya ke sana, pada cerita-cerita ayahnya.
Samson menerima kedatangan Nyak Raja dengan penuh semangat. Polisi muda itu mempersilakan Nyak Raja duduk di tempat biasa dan lalu menghidangkan segelas kopi sachet. Saat ingin duduk di depan laki-laki itu, dia seperti ingat sesuatu dan kembali bangkit menuju ke luar ruangan. Tak lama kemudian Samson masuk dengan asbak di tangannya. Diletakkannya asbak itu di depan Nyak Raja. “Silakan kalau Bapak mau merokok,” katanya sambil tersenyum.
Nyak Raja membalas senyum itu dengan senyumnya sendiri, senyum dari mulut kecilnya yang unik. Orang tua itu merogoh kantong kemejanya dan mengeluarkan sebatang rokok. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan dan lalu berhenti pada kipas angin yang serupa baling-baling, lalu menyembur asap dari mulutnya dengan pelan.
“Bapak bisa melanjutkan cerita kemarin, tapi baiknya langsung ke poin agar masalah ini semakin terang,” ujar Samson sambil melipat kedua tanganya di dada.
“Saya akan bercerita apa saja yang saya ingat tentang Tomi. Tapi, karena kejadiannya sudah lama, bisa saja cerita saya melompat ke sana ke mari,” balas Nyak Raja sembari menyentil abu rokok ke dalam asbak.
“Tidak apa-apa kalau begitu, silakan, Pak,” timpal Samson dengan suara datar.
Maka mulailah Nyak Raja berkisah dengan nada suara yang naik turun.
*
Ketika kejenuhan di kampung kian berlipat-lipat, Tomi bertandang ke rumah saya. Laki-laki itu memanggil saya dengan cara bersiul. Awalnya saya pikir hanya suara burung, maka saya biarkan saja sambil terus bercakap-cakap dengan Mak yang sedang memasak di dapur. Namun, semakin lama siulan itu semakin menjadi-jadi. Saya pun keluar dari arah belakang dan melihat-lihat ke depan. Saya mendapati Tomi tengah duduk pada balai bambu depan rumah. Saya ingat hari itu hari Kamis, penghujung September 1990.
“Apa kamu sudah dengar kejadian kemarin?” tanya Tomi, sejenak setelah saya duduk di sampingnya.
“Kejadian apa?” tanya saya cepat.
“Perampokan bank di Pasee,” jawabnya tanpa melihat ke arah saya.
“Jadi?” tanya saya lagi.
“Apanya yang jadi, kan itu kerjaan orang-orang AM,” ujar Tomi dengan suara mulai meninggi.
“Tahu dari mana Abang kalau yang merampok itu orang-orang AM?” Saya memberanikan diri bertanya, walau sebenarnya saya jarang bertanya begitu pada Tomi.
“Siapa lagi yang bisa merampok zaman sekarang kalau bukan AM. Selain aparat ya cuma mereka yang punya senjata,” jawabnya dengan suara semakin keras.
“Seingat saya Pang Husen gak pernah minta kita untuk merampok,” timpal saya.
“Kaupikir tokoh AM cuma Pang Husen? Ada banyak orang AM di luar sana.”
“Ya, Bang, tapi kan belum tentu juga yang merampok itu orang AM.”
“Alah. Apalagi mau kau bela? Pang Husen itu sama juga. Kalau pun dia tak ikut merampok, tapi dia kan ikut makan juga dari uang itu. Itu senjata yang dipegang orang-orang AM kaupikir dari mana? Apa mereka menjual tanah ayah mereka untuk beli senjata?”
Mendengar jawaban Tomi, saya kembali sadar kalau kemarahan laki-laki itu tidak lagi terbatas kepada Pang Husen, tapi sudah melebar kepada semua orang AM. Tentu saja saya bisa mengerti, sebab selama dipecat dari AM Tomi jadi kehilangan wibawa di kampung, termasuk saya tentunya. Tapi, saya tidak sampai membenci mereka, sebab pemecatan itu, ya, karena kesalahan kami sendiri, khususnya Tomi yang tidak bisa menjaga kelaminnya.
Namun, apa yang dikatakan Tomi ada benarnya, kalau uang yang didapat orang-orang AM itu memang bukan dari hasil menjual tanah, tapi bantuan dari orang-orang kaya. Kalau orang-orang kaya ini sudah tak lagi membantu, ya, bisa saja mereka merampok. Tapi apakah perampokan yang dikatakan Tomi tadi benar-benar dilakukan orang AM? Saya gak tahu.
“Apa kau diam?” Coba jawab dari mana orang AM dapat uang?” bentak Tomi, setelah melihat saya terdiam beberapa lama.
“Jadi, maksud Abang bagaimana?” tanya saya, tanpa menjawab pertanyaan tadi.
Tomi mengusap mukanya, menarik napas panjang dan lalu menatap saya.