Sesuai janji, keesokan harinya, ketika matahari baru saja keluar dari balik ufuk, Tomi kembali mendatangi rumah saya. Tanpa berlama-lama kami pun menapakkan kaki menuju jalan raya, menunggu labi-labi yang akan mengantar kami ke kota. Nyaris tidak ada pembicaraan apa pun antara saya dan Tomi pagi itu. Kami berjalan sembari mengunci mulut masing-masing, diiringi udara dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Saya pikir memang tidak ada yang perlu saya perdebatkan lagi. Meskipun awalnya saya tidak setuju dengan rencana Tomi, tapi toh saya juga membutuhkan uang. Jadi, setelah saya pikir-pikir ulang, Tomi ada benarnya juga, bahwa keberadaan orang-orang AM memang meresahkan masyarakat. Penyerangan-penyerangan yang mereka lakukan terhadap aparat—di mana dulunya saya dan Tomi juga terlibat—telah membuat daerah kami menjadi tak aman dan bergolak.
Saya melihat sendiri bagaimana sulitnya orang-orang di kota dan kampung kami mencari rezeki karena kondisi keamanan yang tidak menentu. Banyak orang yang tidak berani keluar rumah, terlebih di malam hari. Para pedagang keliling yang dulunya hilir mudik di kampung-kampung juga sudah semakin jarang terlihat. Mereka memilih berjualan di kampung masing-masing dan tak berani memasuki kampung lain karena takut dituduh sebagai mata-mata oleh orang-orang AM yang tidak mengenal mereka. Bahkan saya sendiri sampai saat ini juga masih terus menganggur. Sejak kemunculan orang-orang AM, keadaan memang benar-benar berubah.
Atas pertimbangan itulah akhirnya saya menuruti saja ajakan Tomi untuk menemui Komandan Silalahi, walau seperti saya katakan tadi, saya tidak tega melaporkan orang-orang baik seperti Pang Husen. Saya tahu betul kalau tidak semua orang AM itu jahat, ada ramai di antara mereka yang baik dan benar-benar ikhlas berjuang demi tanah air.
*
Setelah menumpang labi-labi kami pun tiba di terminal kota. Seperti kemarin, Tomi mengajak saya memasuki warung tempat para tentara biasa nongkrong. Namun, pagi itu, serdadu-serdadu itu belum datang. Kami pun melangkah ke belakang, pada meja paling ujung. Sampai di sana, Tomi kembali meyakinkan saya bahwa apa yang akan kami lakukan sekarang adalah untuk kebaikan orang banyak dan keamanan daerah. Dia meminta saya untuk tidak ragu-ragu mengambil keputusan.
“Saat ketemu Komandan nanti, kamu diam saja, biar aku yang bicara,” kata Tomi sambil tangan kanannya dikibas-kibaskan ke atas, memanggil pelayan warung yang berdiri di sana. Melihat lambaian tangan Tomi, seorang laki-laki kurus dengan celemek di dadanya yang sudah renyuk, melangkah ke arah kami, membawa dua gelas kopi.
“Ada kamu dengar yang kubilang tadi?” tanya Tomi sambil mengarau kopinya yang masih panas.
“Ya, Bang. Nanti Abang saja yang bicara,” jawab saya.
“Jangan bilang-bilang kalau kita ini dipecat dari AM. Kalau ditanya bilang saja kita keluar dengan kesadaran sendiri,” lanjut Tomi.
“Iya, Bang,” jawab saya lagi.
“Kita akan membantu pemerintah dengan kesadaran sendiri.”