Saya masih berdoa dan terus berzikir ketika mobil yang kami tumpangi memasuki pekarangan luas yang di beberapa pojoknya berdiri pohon kelapa dan sebatang pohon akasia besar yang rimbun daunnya serupa payung. Dari kursi belakang mobil saya bisa melihat sebuah rumah panggung di sana. Bangunan dari kayu yang memiliki banyak kaki itu berdiri kuyu di tengah pekarangan yang ditumbuhi rumput-rumput hijau. Di sanalah mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti.
Ketika Sersan Eko dan anak buahnya turun serentak, saya yang masih duduk di kursi belakang mengedar pandang ke segala penjuru. Saya melihat ada puluhan tentara di sana, memeluk senapan masing-masing dengan wajah muram. Seketika saja kengerian yang entah dari mana datangnya mengerayangi tubuh saya. Hati saya pun kian menciut, menyusut seumpama biji padi, yang apabila jatuh, saya akan kesulitan mencarinya kembali.
“Ayo turun!”
Teriakan Sersan Eko menyadarkan saya yang masih duduk membeku dalam mobil. Ternyata saya tinggal seorang diri, sementara Tomi sudah turun bersama mereka. Dengan lutut yang mulai lunglai, saya pun melangkah ke luar dari mobil, seraya bertanya-tanya dalam hati, inikah Pos 223 yang dimaksud Sersan Eko?
Dengan perasaan bingung, saya melangkah mengikuti Tomi dan para tentara yang sedang berjalan memasuki rumah, menaiki tangga beton yang terpancang di sana. Saya yang berjalan paling belakang menyaksikan Sersan Eko memasuki sebuah kamar di sebelah barat. Mata saya mengedar ke sekeliling, ternyata ada beberapa kamar di sana. Masing-masing kamar memiliki nama sendiri. Tulisan di atas masing-masing pintu kamar terlihat sedikit aneh, semuanya menggunakan nama binatang, seperti: anjing, kambing, lembu, kerbau dan babi. Sepertinya hanya satu kamar yang dihuni manusia; kamar yang tadinya dimasuki Sersan Eko, sebab di sana tidak ada nama binatang.
Saat saya mencoba mendekat ke salah satu kamar, seorang tentara menarik bahu saya, melarang saya untuk ke sana. Katanya di dalam itu ada banyak binatang buas. Memang sayup-sayup saya bisa mendengar ada suara-suara aneh dari dalam sana, suara rintihan. Ingin rasanya saya menjenguk ke dalam sana, tapi peringatan dari tentara yang tadinya menarik bahu saya sudah cukup membuat saya gentar dan membatalkan niat itu.
Tomi dan beberapa tentara yang tadinya menaiki mobil bersama kami, kini duduk pada sebuah bangku di ruang tengah rumah itu, pada tepi jendela yang jerujinya terbuat dari kayu. Tomi memanggil saya untuk ikut duduk di sana, menunggu Sersan Eko yang masih berada dalam kamar. Saya pun menurut, duduk di samping Tomi sambil kedua mata saya tertuju pada langit-langit rumah panggung itu, yang dipenuhi sarang laba-laba.
Saya tidak tahu entah mengapa suasana rumah itu terlihat begitu menyeramkan, padahal rumah panggung seperti ini sudah menjadi hunian kami sejak dulu. Di kampung Lingga, meskipun rumah beton gaya modern sudah banyak bermunculan, akan tetapi rumah panggung tetap dipelihara dan dilestarikan. Tidak ada seorang pun di kampung kami yang berani memusnahkan rumah panggung yang diwarisi dari orangtua mereka, seolah rumah tua itu memiliki kekeramatan tersendiri.
Sedang saya termenung memikirkan hal-hal aneh di rumah itu, tiba-tiba saja Sersan Eko keluar dari kamar. Dia memanggil saya dan Tomi untuk masuk. Katanya, Komandan Silalahi sudah menunggu. Tomi menarik lengan saya, dan kami pun melangkah ke dalam kamar, sementara empat serdadu lainnya tetap duduk di bangku tepi jendela.
Kamar itu tak begitu luas, mungkin hanya dua kali dua meter dengan satu jendela di sebelah barat. Di beberapa bagian dinding terlihat beberapa foto terpajang dalam bingkai. Mata saya terbelalak ketika tanpa sengaja melihat wajah Pang Husen terpampang di sana, juga gambar Hasan Tiro, Wali Negara Aceh Merdeka dan beberapa wajah lain yang tak begitu saya kenal.
Pada sebuah meja di sudut kamar, seorang laki-laki kurus berkumis tebal sedang duduk dengan posisi kaki diselonjorkan ke atas meja. Dia menyesap rokok sembari memandangi kami yang baru saja masuk. Sersan Eko menutup pintu dan lalu memperkenalkan kami pada laki-laki itu.
“Ini Komandan Silalahi,” kata Sersan Eko pada kami yang masih berdiri, dan lalu dia menyilakan kami untuk duduk pada kursi kayu, tepat di depan laki-laki itu.
Awalnya saya berpikir kalau Komandan Silalahi itu tubuhnya tinggi besar, wajahnya hitam dan dipenuhi berewok, tapi ternyata hanya seorang laki-laki kurus, yang andai saja hari itu tidak memakai seragam loreng, akan lebih mirip supir becak mesin di kota Sigli.
“Ayo, silakan duduk,” kata Komandan Silalahi.
Sebelum duduk, saya melihat Tomi menyalami laki-laki itu, lalu saya pun ikut bersalaman bersama jantung yang masih berdendang.
“Mereka ini bekas anggota AM yang sudah bertobat,” kata Sersan Eko yang berdiri di samping Komandan.
Laki-laki kurus itu menganguk, menurunkan kakinya dari atas meja dan lalu duduk tegak seraya menatap kami.
“Lama bergabung dengan GPK?” tanya Komandan.
“Mungkin sekitar dua tahun, Ndan,” sahut Tomi dengan suara tenang.