Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #15

Astrea Prima dan Nokia 3315 #15

Sepulang dari Pos 223 saya mengalami demam selama satu minggu karena suara-suara itu terus mengganggu pikiran saya. Namun, berkat ramuan yang diberikan Mak, kesehatan saya membaik juga. Kedatangan Tomi ke rumah setiap pagi juga cukup membantu meluruskan pikiran saya yang sempat runyam. “Yang mereka tangkap sudah pasti orang-orang jahat.” Demikian kata Tomi setiap kali mengunjungi saya. Akhirnya saya bisa sedikit lebih tenang.

Pada hari ke delapan, saya merasakan tubuh saya sudah mulai bugar dan pikiran-pikiran aneh itu sudah mulai hilang. Namun, saya bilang pada Tomi kalau saya belum bisa menemaninya ke kota. Saya masih harus istirahat seminggu lagi sampai benar-benar pulih. Tomi tidak keberatan, dan katanya, dia tidak akan ke kota sebelum saya pulih. Pada titik ini, selain karena hubungan kekerabatan, saya semakin sadar kalau Tomi adalah teman yang setia.

 Seminggu berlalu, Tomi pun kembali mengajak saya ke kota, tepatnya ke Pos 223. Demi menepati janji, saya pun menuruti ajakan Tomi. Lagi pula, selama ini Tomi juga memberikan saya sejumlah uang untuk kebutuhan sehari-hari. Uang itu dia dapat dari Sersan Eko saat laki-laki itu mengantarkan kami ke terminal. Menurut keterangan Tomi, uang tersebut dititipkan oleh Komandan Silalahi kepada Sersan Eko untuk kemudian diberikan pada kami.

Maka, seperti biasa, ketika pagi masih terlihat redup, kami pun berangkat ke terminal kota. Usai menyeruput kopi dan menelan beberapa kue di kedai terminal, kami pun bersiap-siap menuju Pos 223, sekira 3 kilometer dari terminal. Ketika kami menaiki becak mesin yang dikendarai seorang laki-laki sepuh berjanggut panjang, matahari di timur sudah mulai meninggi dan menghangatkan punggung kami, mengusir hawa dingin yang tadinya begitu lekat.

Saat turun dari becak dan hendak melangkah ke pos, laki-laki pengendara becak itu memandangi kami dengan kening mengernyit. Seperti ada pertanyaan di hatinya. Namun, sampai kami memasuki pos, laki-laki itu tak bertanya apa-apa. Dia memutar becaknya dan kembali melaju ke arah terminal.

Kedatangan kami pagi itu disambut oleh beberapa tentara yang berjaga-jaga di luar, pada pintu masuk yang di kedua sisinya dipenuhi puluhan goni berisi pasir dan juga kawat berduri yang bergulung-gulung. Mereka menyambut kami dengan senapan tersangkut di bahu, mempersilakan kami duduk di bawah kolong rumah panggung, pada bangku panjang yang terbuat dari bilah bambu. Mereka terlihat begitu ramah.

Berbeda dengan kedatangan kami minggu lalu, yang merupakan kedatangan pertama ke tempat ini, kali ini saya merasakan pikiran saya lebih segar. Mungkin saja saya sudah mulai terpengaruh dengan petuah-petuah yang diberikan Tomi selama saya dilanda demam. Petuah-petuah itu telah membuat saya semakin tegar dan berani menghadapi kenyataan hidup di masa-masa sulit.

*

Lima belas menit kami duduk di bawah kolong, Sersan Eko belum juga muncul. Kata seorang tentara yang ada di sana, laki-laki itu sedang menemani Komandan Silalahi yang melakukan safari Subuh di masjid besar kecamatan. “Biasanya jam segini sudah pulang,” kata si tentara yang tidak saya ketahui namanya. “Untuk mendapat simpati dan dukungan masyarakat, Komandan memang melakukan berbagai pendekatan dengan mereka,” katanya lagi.

“Ya memang harus begitu,” sahut Tomi tiba-tiba, “supaya masyarakat tidak terjerumus pada tindakan-tindakan melawan negara.”

Mendengar ucapan Tomi, saya merasa geli sendiri. Tapi, ya, mau bagaimana lagi, Tomi memang seperti itu, pandai mengambil hati orang-orang, termasuk para tentara yang baru ia kenal. Untuk beberapa saat dia pun terlibat pembicaraan serius dengan si tentara, sementara saya hanya bisa diam, tersenyum dan sesekali mengangguk.

Sedang asyik mereka berbincang, dari arah depan tampak dua mobil memasuki pekarangan. Komandan Silalahi dan Sersan Eko turun dari mobil Panther warna hijau, sementara satu mobil lainnya, diisi para pengawal dengan senjata lengkap, seolah mereka baru pulang dari pertempuran.

Sampai di bawah kolong, Komandan dan Sersan Eko berdiri menyalami saya dan Tomi. Lalu Komandan naik ke atas, sementara Sersan Eko duduk bersama kami. Dia menceritakan perjalanannya menemani Komandan sejak Subuh tadi. Katanya, di sana mereka disambut meriah oleh tokoh-tokoh masyarakat dan dijamu dengan berbagai makanan.

Lihat selengkapnya