Tomi tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya setelah mendapat motor dan telepon genggam dari Komandan. Dia merasa kehormatannya sedikit terangkat. Sebagai orang yang selalu bersama dengan Tomi, saya pun merasakan hal yang sama. Saya senang karena bisa sesekali meminjam motor dari Tomi. Namun, kebahagiaan itu ternyata menjadi awal dari perubahan-perubahan besar yang terjadi di kemudian hari. Tomi menjadi kian congkak dan jemawa di hadapan orang-orang di kampung Lingga.
Pada saat kami pulang dari Pos 223 menggunakan motor, orang-orang di kampung Lingga memandang kami dengan raut heran. Mungkin saja mereka bertanya-tanya dalam hati, dari mana Tomi mendapatkan motor, sedangkan selama ini dia tidak bekerja. Bahkan boleh dibilang, di Kampung Lingga sendiri keberadaan motor pribadi masih sangat langka. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki motor di rumahnya, seperti Keuchik dan Tauke Basyah, pemilik tambak udang yang memang cukup terkenal di kampung kami.
Hari itu, sepulang dari pos, Tomi tidak langsung mengantar saya ke rumah, tapi kami singgah di rumahnya yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah saya. Saat tiba di sana, ayah Tomi, Nyak Ali Samidun, sedang duduk di panteu depan rumah. Sepertinya dia baru saja memberi pakan untuk kambing-kambingnya di kandang. Melihat kami yang pulang dengan motor, raut wajahnya segera berubah.
“Punya siapa kau curi?” tanya Nyak Ali Samidun pada Tomi, satu-satunya anak laki-laki yang ia punya.
“Mana ada aku curi, Abu,” jawab Tomi sambil turun dari motor, sementara saya sudah turun duluan dan menyalami Nyak Ali Samidun.
“Jadi punya siapa juga ini kau bawa?” sidik orang tua itu sembari berkacak pinggang.
“Ini hadiah kawan saya, Abu. Coba tanya Raja kalau gak percaya,” balas Tomi, dan lalu ujung jarinya menunjuk muka saya.
Belum sempat saya menjawab, dari arah belakang rumah terlihat Mak Tomi dan Salamah sedang berjalan ke arah kami.
“Apa betul dia bilang itu, Raja?” tanya Nyak Ali Samidun pada saya.
“Betul itu, Pakwa,” jawab saya cepat.
“Di mana rumah kawanmu, Abu mau tanya sendiri, apa betul dia kasih untuk kau?”
Kali ini pertanyaan Nyak Ali Samidun ditujukan pada anaknya sendiri.
Sejenak Tomi terlihat bingung. Dia melirik ke arah saya, sementara Salamah dan Mak Tomi terlihat saling berbisik. Adapun Nyak Ali Samidun yang masih berdiri di depan panteu tampak memandangi Tomi dengan sorot mata menyala.
“Bagaimana mau saya bilang, ya,” ujar Tomi kemudian, seraya menggaruk-garuk kepalanya sendiri, “ini dikasih sama Komandan tadi,” lanjutnya dengan nada pelan.
“Komandan mana?” bentak Nyak Ali Samidun yang terlihat mulai geram.
“Itu, yang di pos?” jawab Tomi dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Pukimak! Jadi cuw’ak kau?” umpat orang tua itu dan lalu terduduk lemas di atas panteu. Saya yang melihat Pakwa Ali Samidun hampir terjatuh langsung saja memegang tubuhnya. Namun, orang tua itu menolak uluran tangan saya, “Bek ka mat kei,” bentaknya.