Nyak Raja mengakhiri ceritanya dengan terbatuk-batuk. Dia merasakan tubuhnya sedikit hangat. Beberapa kali dia terlihat memegang keningnya, memastikan apakah bagian tubuhnya itu terasa panas atau tidak. Ketika Samson menanyakan apakah dia baik-baik saja, Nyak Raja hanya mengangguk. Samson bangkit dari duduknya menuju dispenser, mengambil segelas air putih dan memberikannya kepada laki-laki itu. “Minum dulu, Pak,” katanya.
Tanpa berkata apa-apa, Nyak Raja mengambi gelas dari tangan Samson dan meneguk air itu sampai tandas. “Sepertinya saya harus pulang,” katanya kemudian sambil meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja. “Bapak sakit?” tanya Samson. Nyak Raja menggeleng, melempar senyum getir dari mulut kecilnya.
“Tidak sakit, tapi kurang enak badan,” katanya dengan nada lemah, “dan saya memang begini,” lanjutnya, “setiap mengenang peristiwa itu, saya menjadi cemas.”
“Peristiwa yang mana, Pak?” tanya Samson penuh perhatian.
“Nantilah, Pak. Kalau saya sudah sedikit segar akan saya lanjutkan lagi, sekarang sepertinya saya belum sanggup,” balas Nyak Raja dengan suara pelan.
“Baiklah, Pak,” timpal Samson, “Bapak boleh pulang dan istirahat dulu. Nanti kapan-kapan Bapak merasa siap, Bapak boleh kembali ke sini.”
Samson memapah tubuh Nyak Raja menuju ke luar ruangan. Dia menggandeng tangan orang tua itu hingga ke gerbang. Abduh yang saat itu masih menunggu di kantin tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan menemui mereka yang masih berdiri di gerbang.
“Ini anak Bapak?” tanya Samson pada Nyak Raja. Laki-laki itu hanya mengangguk.
Setelah menyalami Samson, Abduh memapah ayahnya, menaiki motor.
Tiba di rumah, Nyak Raja langsung memasuki kamar, merebahkan tubuhnya pada ranjang kayu jati, tempat dulu ia dan mendiang istrinya melepas penat sambil bercakap-cakap sebelum tidur. Namun, sejak istrinya meninggal, ranjang itu menjadi kian sepi.
Abduh menyelimuti ayahnya dengan perasaan tak menentu. “Kita ke rumah sakit? tanya Abduh. “Tidak apa-apa,” jawab Nyak Raja sambil berbaring dan menarik selimut menutupi dadanya, “kamu ke Bidan Amna saja, minta obat demam,” katanya sambil memejam mata.
Tanpa bertanya-tanya lagi, Abduh pun memacu motornya menuju klinik Bidan Amna. Sebenarnya ada perasaan sedikit berat di dadanya ketika ayahnya menyebut nama Bidan Amna, perempuan yang dulunya pernah membuat Abduh tergila-gila, tapi ditolak mentah-mentah, membuat ia menanggung malu berbulan-bulan, dan rasa malu itu baru pudar ketika kemudian dia menikahi istrinya yang sekarang, yang wajahnya melebihi kecantikan Bidan Amna. Namun, demi kesembuhan ayahnya, Abduh terpaksa berjumpa lagi dengan perempuan itu.