Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #20

Langit Mendung di Belantara #20

Menggunakan Astrea Prima warna hitam, kami melaju menembus remang-remang warna pagi, melawan terjangan angin dingin yang menusuk sampai ke tulang. Tomi memacu motor seperti kuda perang. Saya yang duduk di belakang, berpegangan pada besi kecil yang melingkari jok agar tubuh saya tak terempas ke tanah.

Kami tiba di Pos 223 sekira pukul 7 pagi, setelah melewati barikade yang dipasang di badan jalan. Beberapa tentara tampak berjaga-jaga di pintu masuk. Motor yang kami tumpangi memasuki pos dan berhenti di bawah kolong rumah panggung. Sersan Eko sudah menunggu kami di sana bersama beberapa pasukan yang berdiri memegang senapan.

“Makan dulu, sudah kubeli tadi,” seru Sersan Eko sambil melambai tangan ke arah kami. Setelah memarkir motor, kami duduk di bangku bambu di bawah kolong. Ada banyak nasi bungkus di sana, juga beberapa kantong kopi panas yang belum dibuka, beberapa gelas kaca dan piring enamel.

“Ayo, hajar!” teriak Sersan Eko, sesaat setelah kami duduk.

Maka mulailah kami menikmati nasi kucing yang dibungkus daun pisang, demikian Sersan Eko menyebut bungkusan itu. Namun, di kampung kami nasi begitu lebih dikenal dengan bu prang, nasi yang isinya hanya beberapa suap saja dan ikan yang dipotong kecil-lecil, khusus untuk sarapan.

Usai menandaskan makanan dan meneguk kopi, Sersan Eko menelepon Komandan Silalahi, mengatakan bahwa saya dan Tomi sudah sampai di pos. Selang beberapa menit sebuah mobil tampak memasuki pos. Komandan Silalahi turun sambil membawa gulungan kertas di tangannya dan melangkah ke bawah kolong.

Dia menggelar peta di atas meja kayu seraya menggeser bungkusan daun pisang yang masih tergeletak di sana. “Lokasinya sudah kita ketahui. Aku sudah mengirim beberapa intel ke sana, menyamar sebagai penduduk,” ujar Komandan Silalahi, “Di sini,” katanya lagi, seraya menunjuk satu titik dalam peta, “untuk memudahkan perjalanan, kalian berdua harus ikut. Pastinya kalian lebih tahu kondisi di sana, ya, kan?” tanya Komandan.

Saya dan Tomi hanya mengangguk. Namun, jujur saja jantung saya berdetak kencang sekali saat itu. Tapi, saya juga tidak punya pilihan lain dan terpaksa saya kuat-kuatkan hati saya. Saya berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa. Semoga semuanya selamat dan baik-baik saja, termasuk Pang Husen dan anak buahnya. Bagaimana pun saya tidak tega mereka terbunuh.

*

Tepat pukul 12 siang kami berangkat dengan menumpangi dua Truk Reo M35. Saya, Tomi dan Sersan Eko berada dalam truk paling depan, bersama puluhan tentara bersenjata lengkap, mulai Ak-56, SS1, M16 sampai Steyr. Saya kenal senjata-senjata itu selama berada di hutan, sebab orang-orang AM juga memakai senapan yang sama. Tapi mereka lebih banyak menggunakan AK-47 dan beberapa senapan rakitan.

Dalam perjalanan siang itu, saya dan Tomi dibekali pakaian anti peluru dan helm besi. Sayangnya kami tidak diberikan senjata dan hanya diminta memegang radio dan sangkur. Kata Sersan Eko, dua benda itu penting untuk jaga-jaga. Adapun senapan, katanya, tidak boleh dipegang oleh sipil. Mendengar penjelasan itu, kami diam saja. Lagi pula, katanya lagi, keamanan kami sudah menjadi tanggung jawab pasukan.

Truk Reo yang kami tumpangi dan satu truk lagi di belakang kami memasuki Kampung Lingga ketika matahari berada di puncak. Saya bisa melihat debu-debu di belakang kami yang beterbangan menyerupai kepulan asap. Beberapa penduduk yang terkejut dengan kedatangan tentara yang tiba-tiba tampak berdiri mematung di pinggir jalan dan beberapa anak kecil berlarian ketakutan. Beberapa orang yang sedang duduk di kedai kampung juga tampak melongo. Saat melewati mereka, saya dan Tomi terpaksa menundukkan kepala agar tak ada yang melihat kami.

Untuk bisa sampai ke markas Pang Husen, kami memang harus melalui Kampung Lingga dan beberapa kampung lagi setelahnya. Kami harus melalui jalanan berbatu yang penuh debu dan lubang, juga hewan ternak yang berkeliaran. Saat truk yang kami tumpangi terhalangi oleh sekawanan lembu, Sersan Eko sempat memerintahkan pasukannya untuk menembak lembu-lembu itu. Namun, saya berbisik pada Tomi, agar ia berbisik pada Sersan Eko supaya mereka jangan menembak binatang. Sayang pemilik binatang, kata saya. Tomi menyanggupi dan menyampaikan pada Sersan Eko. Maka selamatlah lembu-lembu siang itu.

Truk terus berjalan dan tiba di ujung kampung menjelang pukul empat sore. Tomi mengatakan kepada Sersan Eko untuk memarkir truk di menasah kampung agar sedikit tersembunyi dari pantauan orang-orang AM yang bertugas menjaga keamanan di perbatasan hutan. Sersan Eko menuruti dan meminta kedua truk parkir di sana. Puluhan tentara turun dari truk, membuat warga yang ingin shalat Asar terkejut bukan kepalang.

Beberapa tentara mendekati warga kampung, mengingatkan agar tak ada seorang pun yang keluar dari lingkungan meunasah sebelum operasi selesai. Sersan Eko memerintahkan beberapa tentara untuk tetap berjaga-jaga di meunasah, memastikan tidak ada seorang pun yang meninggalkan lokasi itu selama penyerangan. Upaya itu dilakukan agar tidak ada warga yang melaporkan kedatangan kami kepada orang-orang AM.

Lihat selengkapnya