Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #21

Kembali ke Kampung Lingga #21

Tiga orang tawanan yang berhasil ditangkap malam itu dikurung di Pos 223. Dengan tangan terborgol, mereka dimasukkan dalam kamar rumah panggung yang di pintunya tertulis “kambing.” Di sana mereka mendapat perlakuan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Atas perintah Komandan Silalahi, orang-orang itu dipukuli, disetrum dan diinjak-injak seperti tanah liat. Mereka dipaksa untuk menyebut nama-nama orang AM yang bersembunyi di kampung-kampung. Sayangnya, ketiga orang itu memilih bungkam, membuat tubuh mereka semakin remuk.

 Tidak sanggup melihat pemandangan itu, saya mengajak Tomi untuk kembali ke kampung Lingga. Namun, kami baru mendapat izin untuk pulang tiga hari kemudian. Komandan Silalahi memberi waktu bagi kami untuk istirahat selama dua hari. Setelahnya kami harus kembali ke Pos 223. Kami berangkat pulang menggunakan motor dan tiba di kampung jam sepuluh pagi.

Sampai di rumah, Mak menceritakan kepada saya tentang penyerangan markas Pang Husen oleh tentara. Katanya banyak orang AM yang mati tertembak dan beberapa orang ditangkap. Dia khawatir saya juga ikut ditangkap. Maka ketika saya pulang Mak langsung memeluk saya, anak satu-satunya yang ia punya. Saya tanya pada Mak, dari mana Mak tahu berita itu. Katanya dari radio, koran dan kabar dari orang-orang.

“Kemarin, Pakwamu datang ke mari. Dia bawa koran. Katanya ada ditulis di koran,” ujar Mak sambil menyiapkan bubur kacang hijau untuk saya.

Yang dimaksud Pakwa oleh Mak adalah Nyak Ali Samidun, ayahnya Tomi. Mendengar itu saya agak terkejut. Saya mengkhawatirkan Tomi. Apakah dia akan dimarahi ayahnya? Apakah Pakwa Ali Samidun tahu kalau kami juga ikut dalam penyerangan?

Pertanyaan-pertanyaan itu mengerubungi kepala saya pagi itu. Setelah menghabiskan bubur buatan Mak, saya memilih untuk tidur. Saya harus menenangkan diri sejenak. Namun, baru saja saya hendak seuliyo, Tomi mendatangi rumah saya. Dia membawa selembar koran di tangannya. Dua belas Anggota GPK Ditembak Aparat, Tiga Orang Ditahan, demikian judul berita itu.

Membaca berita itu saya benar-benar tercenung. Bagaimana bisa demikian, padahal saya melihat sendiri hanya ada dua jenazah orang AM di sana, sementara di pihak tentara ada delapan orang yang tewas. Tapi di koran itu tidak ditulis ada tentara yang mati. Saya pikir ini aneh. Baru saja saya hendak bertanya pada Tomi, dia bilang begini, “Itu memang akal-akalan aparat untuk menakuti GPK. Mereka sengaja meminta wartawan untuk menutup rapat-rapat soal kematian para tentara, dan menulis bahwa yang mati itu orang-orang AM.”

“Jadi mau dibawa ke mana tentara yang mati itu?” tanya saya.

“Itu urusan mereka, bukan urusan kita. Pastinya jenazah itu akan dikirim ke kampung masing-masing dan dimakamkan secara militer,” kata Tomi.

Saya mengembalikan koran kepada Tomi. Laki-laki itu mengambil dan melipatnya, lalu diselipkannya di belakang pinggang. “Aku harus pulang sekarang. Tadi koran aku ambil di panteu. Takut Abu sudah pulang dan dia akan merepet kehilangan koran,” ujar Tomi dan lalu bangkit menuruni rumah saya, pulang ke rumahnya sendiri.

Saya pun kembali tidur.

*

Menjelang sore, Tomi kembali mendatangi rumah saya seraya mendorong motor. Napasnya terengah-engah. Saya yang duduk di anak tangga segera turun menuju panteu di depan rumah. “Ada apa?” tanya saya penasaran.

“Abu mengamuk. Dia marah. Kita kembali ke pos saja,” jawab Tomi dengan wajah dipenuhi keringat.

“Kenapa bisa begitu?” tanya saya.

“Nanti kubilang. Pokoknya kita pergi sekarang.”

Setelah dilanda kebingungan beberapa menit, saya menaiki tangga, masuk ke rumah. Saya pamit pada Mak. Saya katakan pada Mak kalau saya ada pekerjaan dengan Tomi dan kemungkinan tidak pulang. “Hati-hati,” kata Mak, dan saya pun kembali menuruni tangga, menaiki motor. Tomi memacu motor dengan tenaga penuh, membuat debu-debu mengepul.

Motor yang kami tumpangi berhenti di sebuah kedai kopi pinggiran kota. Kedai itu terlihat sepi. Hanya ada dua pelanggan yang sedang menikmati kopi. Kami turun dan duduk di meja paling depan, menghadap jalan raya.

“Gak jadi ke pos?” tanya saya.

“Di sini saja dulu,” jawab Tomi.

Pemilik kedai menghampiri meja kami, menanyakan pesanan. Lalu Tomi memesan dua gelas kopi dan dua piring mi goreng. “Aku belum makan, katanya.”

Lihat selengkapnya