Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #22

Mengipas Bara #22

Tidak ada yang menduga kekecewaan Tomi kepada sikap ayahnya, Nyak Ali Samidun, ditambah dengan kekesalannya pada istrinya, Salamah, membuat laki-laki itu kalap. Tomi sangat yakin ada warga kampung Lingga yang telah memfitnah dirinya dengan cara bercerita yang bukan-bukan kepada ayah dan istrinya sampai-sampai mereka menyebutnya pengkhianat. Tomi merasakan hatinya terluka, luka yang tidak akan sembuh sebelum tukang fitnah itu ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Pada suatu sore Tomi memanggil saya yang sedang duduk-duduk di bawah kolong rumah panggung Pos 223. Saya ingat hari itu, Kamis, penghujung September 1993 yang merupakan bulan kedua kami menetap di pos, usai Nyak Ali Samidun mengusir Tomi dari rumahnya. Sejak pengusiran itu, Tomi memang tidak pernah pulang ke kampung Lingga, kecuali sekali, saat kami menemui istrinya, Salamah.

Saya bangkit dari bangku bawah kolong dan berjalan ke arah Tomi yang berdiri tak jauh dari gerbang pos, tempat para tentara berjaga-jaga. Tomi menyodorkan secarik kertas berisi nama-nama anggota AM dan beberapa warga yang menurutnya menjadi pendukung AM. Saya membaca nama di kertas itu satu persatu, dari atas ke bawah, dan lalu dari bawah ke atas. Beberapa nama yang tertera di sana cukup saya kenal. Mereka adalah warga kampung Lingga yang menurut pengetahuan saya tidak terlibat dengan AM. Adapun puluhan nama lainnya sama sekali tidak saya kenal.

Saya katakan pada Tomi kalau tidak semua nama di kertas itu terlibat AM. Namun, Tomi menghardik saya, “Aku lebih tahu, sudah aku periksa betul-betul. Mana ada pencuri mengaku pencuri,” ujar Tomi. “Kita akan temani Sersan Eko dan aparat untuk menjemput mereka satu persatu,” lanjut Tomi. Mendengar penjelasan Tomi, saya hanya bisa diam dan tidak mampu membantah lagi.

*

 Malam harinya, ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas dan Tomi baru saja tertidur di barak sebelah timur, saya justru tidak bisa memejam mata. Saya keluar dari barak dan memilih duduk di depan, pada kursi kecil yang terbuat dari rotan. Di gerbang depan terlihat beberapa tentara berjaga-jaga dengan senapan. Saya mengalihkan pandangan ke arah rumah panggung yang jaraknya hanya beberapa meter dari barak. Saya kembali mendengar suara-suara rintihan di sana. Saya ingat tadi sore memang ada tahanan baru yang dimasukkan ke sana, seorang laki-laki gemuk yang dituduh terlibat AM.

Sampai dengan malam itu saya memang tidak pernah sekali pun memasuki kamar-kamar di rumah panggung itu, kamar-kamar yang diberi nama binatang. Saya tahu di kamar itu ada para tahanan, tapi tentara melarang saya untuk mendekat ke sana dan hanya diizinkan duduk di bawah kolong seraya mendengar suara-suara dari atas. Suara-suara yang membuat tidur saya tak pernah nyenyak.

Saya kembali teringat pada nama-nama di kertas yang ditunjukkan Tomi sore tadi. Ada tiga nama yang cukup saya kenal. Mereka adalah Pak Keuchik, Teungku Imum dan seorang laki-laki bernama Raman. Saya sangat tahu ketiga orang itu bukan orang AM. Bahkan boleh dibilang mereka adalah orang yang sering mengejek perjuangan AM. Namun, saya paham kenapa Tomi memasukkan nama mereka. Tidak lain dan tidak bukan karena ketiga orang itu telah mempermalukan Tomi di hadapan orang kampung, saat laki-laki itu tertangkap basah di rumah Salamah.

Saya yakin Tomi sedang berniat menuntaskan dendamnya kepada mereka dan juga kepada orang-orang yang tidak disenanginya, baik di kampung Lingga maupun di beberapa kampung lainnya. Bisa jadi sebagian dari mereka memang terlibat AM, tapi sejujurnya saya tidak setuju dengan sikap Tomi yang begitu. Jika rencana itu benar-benar dijalankan, maka saya yakin rumah panggung itu akan dipenuhi dengan orang-orang tak bersalah, yang suara-suaranya akan terdengar setiap malam. Suara yang membuat bulu kuduk berdiri tegak bagai ilalang. Dan seandainya suara itu didengar oleh mereka yang tak memiliki bulu kuduk, maka ketika suara-suara itu muncul, bulu kuduk mereka akan tumbuh sendiri.

Lihat selengkapnya