Apa yang terjadi selanjutnya adalah kemurungan yang membuat saya memikul penyesalan sepanjang hidup. Penyesalan yang terus menggunung dari hari ke hari tanpa saya mampu menolak. Saya benar-benar terjebak dalam pusaran dan lingkaran mengerikan. Kengerian yang melebihi suara-suara yang dulunya saya dengar. Kengerian yang begitu nyata dan dekat, membuat saya lupa pada ganasnya babi-babi di hutan.
Namun begitu, saya tidak melihat ada kemurungan di wajah Tomi. Dia justru begitu bersemangat. Dia seperti menemukan dirinya yang baru. Sama sekali tidak ada penyesalan di wajahnya ketika kengerian-kengerian itu terjadi. Dia benar-benar menjadi sosok yang lain, sosok yang begitu ganas. Dia menikmati segala kengerian dengan wajah tenang dan sesekali tampak semringah. Saya tahu kalau laki-laki itu memang sedang mengobati luka di hatinya.
*
Sesuai rencana yang sudah ditetapkan Sersan Eko, atas persetujuan Komandan Silalahi, kami memulai operasi pada pertengahan Agustus 1997. Sebenarnya itu bukanlah operasi pertama yang dilakukan tentara di rumah panggung, mereka sudah memulainya sejak 1990, akan tetapi saat itu kami sama sekali belum dilibatkan. Keterlibatan kami baru dimulai pada 1997, sejak Tomi memberikan catatan berisi nama-nama itu kepada Sersan Eko.
Siang itu kami menaiki mobil kijang warna hitam. Saya dan Tomi memakai sebo dan duduk paling belakang. Di depan kami tiga orang tentara berpakaian preman dengan senapan diletakkan di atas paha. Di depannya lagi sopir dan Sersan Eko, juga memakai pakaian preman. Dilihat dari luar, penampakan mobil berkaca gelap itu memang sungguh mengerikan sampai-sampai dikemudian hari mobil itu dijuluki mobil hantu.
Saat roda mobil berputar, jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Mobil melaju kencang, melintasi kota, melewati terminal dan lalu memasuki jalan perkampungan yang dipenuhi debu. Kami melewati Kampung Lingga dan berhenti di sebuah kedai kopi tepian sawah. Seorang tentara turun dan masuk ke dalam kedai yang dipenuhi warga.
Saat menemui warga, si tentara tidak membawa senapan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun dari mereka. Dia menanyakan alamat seorang laki-laki berumur 30 tahun yang bernama Ibrahim. Si tentara mengaku kalau Ibrahim adalah temannya. Tanpa curiga beberapa warga pun memberikan alamat rumah Ibrahim. “Di belakang meunasah, di depan rumah ada pohon jambu besar,” demikian kata seorang warga.
Setelah si tentara menaiki mobil, kami pun kembali bergerak ke alamat yang dituju. Kami harus melalui jalan melingkar karena di beberapa jalan tepian sawah sedang ada tumpukan padi yang sedang digiling mesin perontok. Saat itu memang sedang musim panen, dan sudah menjadi kebiasaan warga menumpuk padi yang masih bertangkai itu di jalanan dekat sawah demi memudahkan pengangkutan.
Setelah memarkir mobil di meunasah, kami terpaksa berjalan kaki menuju rumah Ibrahim. Rumah itu benar-benar terletak di belakang meunasah. Tidak ada jalan penghubung. Kami harus melewati pagar meunasah untuk bisa ke sana. Jalannya dipenuhi rumput dan genangan air, terlihat sangat becek dan licin. Kami harus berhati-hati agar tak tersungkur dalam rimbunan rumput yang sepertinya dipenuhi pacet.
Rumah kayu itu berdiri di antara batang-batang tebu yang sudah meninggi. Dindingnya terbuat dari tepas dengan atap daun rumbia. Rumah demikian adalah pemandangan paling umum di kampung itu. Biasanya para penghuni rumah itu adalah petani miskin atau anak yatim yang sehari-hari bekerja sebagai buruh di sawah dan kebun.
Sersan Eko mengetuk pintu dengan pelan, memberi salam beberapa kali. Seorang perempuan muda memakai baju kurung dan sarung serta selendang yang menutup kepalanya membuka pintu dengan perlahan. Matanya mengedar memandang kami, lima orang laki-laki asing yang sama sekali tak ia kenal. Namun, keberadaan senapan di tangan para tentara membuat ia bergidik. “Cari siapa, Pak?” tanya perempuan itu dengan suara pelan.
Sersan Eko tak menjawab dan justru bertanya, “Ada Ibrahim?”
“Bang Brahim lagi di sawah,” sahut perempuan itu yang tetap berdiri di ambang pintu.