Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #24

Do Gani yang Malang #24

Selang lima hari usai kematian Ibrahim, beberapa tentara di rumah panggung kembali melancarkan penculikan di beberapa tempat. Saat itu saya tidak ikut karena mengalami demam usai menyaksikan kejadian yang menimpa Ibrahim dan istrinya. Sejak pulang dari sana saya tidak bisa tidur dan terus teringat pada anak kecil yang menangis meraung-raung.

Melihat keadaan saya yang demikian, Tomi meminta saya beristirahat di pos, “Biar aku saja yang temani Sersan Eko,” katanya sambil menaiki mobil kijang warna hitam. Saya bersyukur, Tomi bisa mengerti keadaan saya, tapi saya juga merasa kesal dengan sikapnya yang semakin menjadi-jadi, bermain-main dengan nyawa manusia, seolah nyawa mereka hanya rumput kering yang bisa dicabut kapan saja.

Hari itu saya memilih beristirahat di barak. Saya sudah tidak punya pilihan lagi. Usai kejadian di rumah Ibrahim, tersiar kabar kalau orang-orang kampung sudah mulai mencurigai kami sebagai cuw’ak. Saya tidak tahu kenapa mereka bisa mengenali kami, padahal dalam setiap operasi kami selalu memakai sebo. Atau apa mungkin mereka mengenali suara Tomi yang saat itu sempat membentak istri Ibrahim? Entahlah.

Saat berbaring di barak, saya kembali mendengar suara-suara dari rumah panggung. Dalam beberapa hari ini, semakin ramai saja orang-orang kampung yang dikurung di sana dengan tuduhan terlibat AM, atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan dengan AM. Saya selalu memilih menghindari mereka. Saya benar-benar tidak tega melihat mereka dipukuli oleh tentara, dipukuli dengan cara yang tak pernah saya bayangkan. Saya hanya bisa mendengar erangan mereka saat disebat kabel listrik atau saat beberapa perempuan disetrum kemaluannya.

*

Suara teriakan dan bentakan di depan barak membuat saya terbangun. Saya mengintip dari balik jendela. Saya melihat tentara sedang menggiring beberapa tawanan untuk menaiki rumah panggung. Tangan mereka terikat ke belakang, mata ditutup dan kedua kaki mereka dilingkari rantai, membuat jalan mereka menjadi berat, persis sekawanan lembu yang hendak dijagal di hari kurban. Saya mengelus dada, berharap pada Tuhan agar saya diberi kesabaran.

Dari delapan orang yang digelandang hari itu, saya melihat sosok laki-laki kurus pendek berkulit gelap. Saya kenal betul laki-laki itu. Dia Do Gani, warga kampung Lingga yang sehari-hari bekerja memanjat pinang. Orangnya baik dan suka bercanda. Dengan bermodal tubuhnya yang mungil dan gaya bicara sedikit gagap, dia sering membuat lelucon di kampung kami.

Lelucon Do Gani selalu saja disambut gelak tawa oleh siapa pun yang melihatnya. Bahkan, Utoh Him, bujang lapuk kampung Lingga, yang konon sejak dilahirkan ke dunia tak pernah tersenyum, terpaksa menyerah pada lelucon Do Gani. Laki-laki itu selalu saja terpingkal-pingkal saat melihat lelucon Do Gani. Utoh Him akan membuka mulutnya lebar-lebar dan lalu terbahak-bahak bagai orang gila. Seketika itu pula tingkah Utoh Him berubah menjadi lelucon baru bagi orang kampung kami.

Namun, yang saya lihat hari itu sungguh berbeda. Seorang tentara menyeret Do Gani seperti anak kambing sambil beberapa tentara lainnya menendang bokong laki-laki itu, membuat ia tersungkur ke tanah. Lalu orang-orang berbaju loreng itu tertawa, seolah penderitaan Do Gani hari itu hanyalah lelucon.

Do Gani kembali bangkit dan diseret menaiki tangga rumah panggung. Laki-laki bertubuh mungil itu diseret bagai batang pisang. Saya yang masih berdiri di tepi jendela hanya bisa mengurut dada, terlebih ketika saya melihat Tomi menginjak kepala Do Gani, membuat laki-laki itu menjerit memohon ampun.

*

Usai menyantap makan malam bersama para prajurit di barak, Sersan Eko meminta saya untuk naik ke rumah panggung. Mendengar permintaan itu, jantung saya kembali berdebar kencang. Saya seperti bisa mendengar suara darah yang mengalir cepat di sekujur tubuh. Saya benar-benar cemas malam itu. “Pergi saja!” Kamu butuh hiburan,” ujar seorang tentara yang sedang mengunyah nasi di mulutnya, sambil menyenggol bahu saya.

 Dengan wajah masam saya bangkit dari lantai barak, melangkah pelan ke rumah panggung. Untuk beberapa lama saya berdiri mematung di bawah kolong, menatap pada lantai kayu rumah itu. Suara-suara rintihan dari atas sana terdengar jelas, sangat jelas, membuat tubuh saya berubah dingin. Sejenak saya terpikir akan wajah neraka yang sering saya dengar dari para teungku di kampung. Kata teungku, neraka dibuat untuk orang-orang jahat. Orang baik tak perlu risau, sebab neraka tidak akan menyentuh mereka. Namun, neraka yang berada di depan saya malam itu sungguh berbeda. Dia menelan semuanya.

Tiba-tiba suara Sersan Eko kembali terdengar, “Cepat naik!” perintah laki-laki itu, “kamu pasti kenal mereka. Lihatlah!” Saya mendongak, melihat Sersan Eko yang berdiri di anak tangga. Tangannya melambai-lambai, memanggil saya yang masih tercenung di bawah kolong.

Dengan langkah malas, saya pun menaiki tangga, memasuki rumah panggung yang malam itu penuh sesak dengan tentara. Di bawah temaram lampu yang tergantung di langit-langit, saya kembali membaca tulisan-tulisan pada kamar itu; nama-nama binatang. Sersan Eko meminta saya memasuki sebuah kamar yang terletak paling ujung, tak jauh dari ruangan Komandan Silalahi.

Kerbau. Demikian tertulis di atas pintu. “Masuklah!” perintah Sersan Eko.

Sersan Eko membuka pintu dengan kasar. Dari balik pintu saya melihat tiga orang perempuan tampak menyandar pada dinding kayu. Tangan mereka terikat tali kabel. Tubuh-tubuh telanjang itu dipenuhi memar dan beberapa sayatan, persis pohon karet yang hendak diambil getahnya. Wajah mereka menunduk, menatap keringat mereka sendiri yang mengucur membasahi lantai. Di sudut lain saya, pada sebuah lukisan tua yang menggantung, saya melihat Do Gani, duduk meringkuk, menangis tersedu-sedu.

“Kamu kenal dia?” tanya Sersan Eko, seraya menunjuk Do Gani yang masih menangis.

Lihat selengkapnya