Yang Dulu Terkunci

Tin Miswary
Chapter #27

Hari-Hari Terakhir #27

Bidara Residence, Januari 2017

Sudah hampir setahun Nyak Dollah menjadi anak angkat Tomi dan Maryani. Mereka terlihat semakin akrab saja. Tidak ada lagi sekat yang menghalangi hubungan mereka. Semuanya telah pupus seiring perjalanan waktu. Rasa curiga dan waswas telah berganti dengan kasih sayang. Ibarat burung hutan yang dulunya begitu liar, setelah dipelihara dan diberi makan ia pun berubah jinak. Demikianlah sosok Nyak Dollah di mata keluarga Tomi. Ia sudah seperti anaknya sendiri.

Dua bulan lalu, atas persetujuan istrinya, Tomi juga sudah membuat wasiat agar nantinya toko bangunan yang ada di Batam diwariskan kepada Nyak Dollah, demikian juga rumah yang ada di Bidara Residence juga akan menjadi milik Nyak Dollah sepeninggal Maryani. Walaupun sempat menolak, akhirnya Nyak Dollah setuju saja dengan pemberian itu.

Pemuda itu membayangkan suatu hari akan membawa Maknya dan Suti ke sana. Mereka akan hidup damai di kompleks itu. Atau jika Suti dan Maknya tidak setuju, dia akan menjual rumah itu dan membangun rumah baru di kampung Lingga. Dia juga akan menjual toko di Batam dan membangun usaha baru di kampungnya sendiri. Demikianlah rencana yang sudah tersusun di pikiran Nyak Dollah. Dia sudah benar-benar lupa pada niatnya semula, pada keinginan Maknya dan pada permintaan Suti.

*

Malam itu kembang api meledak di langit-langit kompleks. Suara trompet terdengar di mana-mana. Orang-orang sedang merayakan pergantian tahun. Maryani meminta Nyak Dollah untuk mendorong kursi roda ke luar. Katanya, Tomi ingin melihat-lihat langit yang dipenuhi cahaya. Tanpa menunggu lama, Nyak Dollah membawa laki-laki itu menuju teras dan menemaninya duduk di sana, memandang percikan api warna-warni di udara. Tak lama kemudian Maryani keluar dan ikut duduk bersama mereka. Dia membawa serta makanan ringan dan beberapa gelas minuman.

Dari kejauhan terlihat warga kompleks hilir mudik sambil bernyanyi-nyanyi. Mereka tampak begitu gembira, seolah tahun baru adalah satu perayaan penting yang tak boleh dilewatkan. Mereka seperti meyakini bahwa tahun baru akan memberi harapan-harapan baru bagi kehidupan selanjutnya. Maka larutlah mereka dalam kegembiraan itu, kegembiraan yang akan segera padam di hadapan kesulitan-kesulitan hidup yang akan mereka temui di kemudian hari.

Dalam keriuhan malam itu, Tomi tak berhenti menatap langit. Bunga-bunga api yang mekar dan lalu hilang dalam kegelapan malam membuat pikirannya kembali ke masa lalu, ketika perang masih berkecamuk di kampungnya. Dengan mulut tetap mengatup pikirannya kembali ke rumah panggung, pada bilik-bilik Pos 223 yang bertuliskan nama-nama binatang, tempat orang-orang disiksa tanpa ampun dan nyawa mereka dicabut bagai ilalang. Dia melihat dirinya berdiri angkuh di tengah jeritan dan tangisan orang-orang, dalam genangan darah dan bau anyir yang menguar.

Dalam ingatan yang terbentang bagai layar hologram itu, dia menyaksikan mayat-mayat yang dikubur tanpa kepala dan bayi-bayi yang dikeluarkan paksa dari perut ibunya. Sampai pada ingatan itu, mata Tomi seketika basah. Namun, segera ia mengusap mukanya agar ingatan itu tak lagi datang. Dengan sekuat tenaga dia menahan gemuruh di dadanya sendiri seraya berkata dalam hati bahwa semua telah berlalu dan masa tak bisa lagi diundur.

Tomi sadar akan kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Sejak meninggalkan Batam dan tinggal di Medan, penyesalan di hatinya mulai tumbuh berkecambah bagai jamur di musim hujan. Penyesalan itu semakin kuat ketika dia menderita stroke yang membuat gerakannya menjadi terbatas. Dia mulai menbayangkan bagaimana dulunya dia begitu angkuh di hadapan orang-orang lemah. Hanya karena dendam dan uang dia terjebak dalam takdir yang tak seharusnya ia pilih.

Dia pernah berpikir untuk menebus dosa-dosanya. Namun, ia tidak menemukan cara yang tepat. Pulang ke kampung untuk mengakui kesalahannya di masa lalu tentu saja tidak mungkin. Bisa-bisa warga kampung Lingga membunuhnya seperti babi. Maryani pernah menyarakan agar sebagian kecil hasil usaha toko di Batam disedekahkan kepada orang-orang miskin di sana. Saran itu memang sempat dilakukan Tomi, akan tetapi dia merasa usaha itu belum memuaskan hatinya.

Itulah sebab ketika seorang pemuda asing datang dan tinggal di rumahnya, dia bertekad untuk menghibahkan semua hartanya dengan harapan dosa-dosanya akan berkurang. Dan dia amat bersyukur ketika Nyak Dollah kemudian menerima pemberiannya dengan sepenuh hati.

*

Melihat mata Tomi yang kian berat, Maryani meminta Nyak Dollah untuk membawa kembali laki-laki itu ke dalam kamar. Sambil menguap, Nyak Dollah mendorong kursi roda ke dalam kamar, diikuti Maryani dari belakang. Usai menjalankan tugasnya, Nyak Dollah memasuki kamarnya sendiri. Malam kian larut. Dia merasakan kedua bola matanya sudah kehabisan daya. Segera direbahkan tubuhnya ke atas ranjang. Sebelum terpejam dia membuka HP yang tergeletak di sana, ada 12 panggilan tak terjawab dari Suti. Besok pagi dia akan menelepon balik gadis itu, sekarang sudah tidak mungkin lagi, begitu pikir Nyak Dollah, dan lalu terlelap.

Lihat selengkapnya