Dia sering datang terakhir. Langkah kakinya pelan, tapi bukan karena malas—melainkan karena dia tahu tak ada yang menunggunya. Bukan guru, bukan teman, bukan keluarga di rumah. Namanya Lira. Dan sekolah ini sudah terlalu sering menyebut nama itu dalam rapat guru, teguran BK, atau tulisan di papan pelanggaran.
Hari itu, seperti biasa, Lira muncul di gerbang sekolah ketika bel sudah berbunyi. Jilbab hitamnya tergulung sedikit di belakang leher, seperti tak sempat dibetulkan. Ranselnya hanya digantungkan di satu bahu, dan wajahnya tanpa ekspresi, kecuali mata yang tampak terus berjaga-jaga—seperti seekor kucing liar yang tak percaya pada siapa pun.
Satpam memerhatikan jam tangannya, lalu memandang Lira, tapi tak mengatakan apa-apa. Mungkin karena sudah bosan. Atau karena tahu bahwa gadis itu tak akan menjawab. Kalaupun menjawab, pasti dengan sindiran yang sulit dibalas.
Orang-orang menatapnya, tapi tak ada yang menyapa. Beberapa teman hanya berbisik, tertawa pendek, lalu kembali sibuk dengan urusan mereka. Lira berjalan melewati semuanya tanpa suara. Dunia seolah memperlakukannya seperti bayangan yang tak penting—dan ia sudah terbiasa.
Wali kelasnya, Pak Taufik, hanya menggeleng saat Lira masuk ke kelas 9B. Tak ada marah, tak ada sambutan. Mungkin karena semua yang perlu diucapkan sudah habis bulan lalu.
Kelas seketika senyap. Beberapa mata melirik ke arah jam dinding, berharap Lira akan disuruh berdiri di luar atau dimarahi di depan kelas. Tapi tidak. Tidak hari ini.
Lira duduk di kursi paling belakang, di pojok, dekat jendela. Tempat yang katanya paling cocok untuk orang yang ingin melihat dunia tanpa harus ikut di dalamnya.
Ia membuka buku catatannya perlahan. Halaman pertama hanya berisi satu kalimat, ditulis dengan huruf miring yang tegas:
“Jangan pikir aku diam karena tak tahu harus berkata apa.”
Tak ada yang tahu apa arti tulisan itu. Tak ada yang bertanya. Mungkin karena tidak ada yang berani. Atau karena semua sudah terlanjur mengira bahwa Lira hanyalah masalah berjalan, bukan seseorang yang layak diajak bicara.
Najla memperhatikannya dari dua baris depan. Wajahnya tegang, seperti menahan sesuatu. Marah, mungkin. Atau khawatir. Tapi ia tahu, dengan Lira, rasa peduli tidak bisa ditunjukkan dengan cara biasa.
Najla adalah satu-satunya orang yang masih tetap datang setiap Lira menghilang. Satu-satunya yang tak lari saat Lira mulai dingin dan keras. Dan Lira tahu itu. Hanya saja, ia belum siap mengakui bahwa seseorang bisa benar-benar bertahan di sisinya.