Kelas 9B sedang berlangsung pelajaran PPKn. Pak Taufik baru saja menjelaskan tentang demokrasi, dan kini giliran siswa memberikan pendapat.
Pak Taufik menatap ke arah Lira. “Lira, bagaimana pendapatmu tentang demokrasi? Coba jelaskan.”
Lira menghela napas, lalu menjawab dengan nada sedikit sinis, “Demokrasi? Bukankah itu cuma cara orang-orang besar supaya mereka tetap bisa menang terus, Pak?”
Suasana kelas langsung berubah. Sebagian murid menahan tawa, sebagian lain menatap Lira dengan bingung.
Raihan mengangkat tangan dan menyahut dengan nada mengejek, “Itu cuma alasanmu karena kamu nggak pernah mau ikut aturan, Lira. Kamu cuma suka membangkang tanpa tahu apa yang benar.”
Lira menatap tajam ke arah Raihan. “Kalau kamu pikir aku nggak tahu apa yang benar, coba kamu jelaskan dong. Jangan cuma asal omong.”
Raihan berdiri, mendekati meja Lira dengan langkah berat. “Aku tahu betul apa yang benar. Tapi kamu? Kamu cuma bikin masalah dan nggak pernah bisa diam.”
“Aku bikin masalah? Kamu yang suka sok jadi jagoan di kelas!” Lira membalas dengan suara meninggi.
Pak Taufik berusaha menenangkan, “Cukup, Raihan, Lira. Jangan sampai pertengkaran kalian mengganggu pelajaran.”
Tapi ketegangan sudah memuncak.
Raihan menatap Lira dengan mata yang nyala. “Dengar, aku nggak takut sama kamu. Kalau kau mau adu argumen, aku siap.”
Lira menatap balik, suaranya bergetar karena emosi, “Kalau kau pikir aku takut sama kau, kamu salah besar.”
Beberapa teman mulai saling berbisik, merasa tegang melihat bentrokan itu
Raihan kembali duduk, tapi tatapan mereka masih terkunci. Kelas terasa seperti medan perang kecil yang siap meledak kapan saja.
Pak Taufik menghela napas panjang. “Baiklah, kita lanjutkan pelajaran, tapi kalian harus jaga sikap.”
Namun di dalam hati, Lira tahu, benturan itu
belum selesai. Ini baru permulaan.Bel pulang sekolah berbunyi, mengakhiri pelajaran yang penuh ketegangan itu. Namun, konflik antara Lira dan Raihan belum juga mereda.
Di halaman belakang sekolah, di balik deretan pepohonan dan tembok tinggi, Raihan menunggu dengan tatapan penuh dendam. Lira melangkah mendekat, napasnya berat tapi matanya tak mundur sedikit pun.
“Kau pikir bisa terus ngatain aku di kelas dan lari begitu saja?” sahut Raihan dengan suara kasar.
Lira membalas, “Aku nggak takut sama kau, Raihan. Kalau kau mau masalah, ayo.”
Tanpa aba-aba, Raihan mendorong Lira ke tembok. Lira terhuyung tapi langsung menguatkan dirinya. Mereka mulai saling dorong, dan suara benturan tubuh memecah keheningan sore.