Langit sore berwarna kelabu, awan-awan gelap menggantung berat di atas madrasah. Angin dingin menyusup ke dalam seragam Lira saat ia melangkah keluar dari kelas dengan langkah yang berat. Hatinya masih panas membara akibat bentrokan dengan Raihan tadi siang. Kata-kata mereka yang mengalir cepat dan tajam di kelas belum juga reda di pikirannya. Raihan yang biasanya tenang berubah menjadi sosok yang sulit ditebak dan penuh dendam.
Dari kejauhan, Najla memperhatikan Lira dengan perasaan campur aduk. Mereka sudah beberapa hari terakhir tidak duduk bersama di kelas—bukan karena konflik besar, tapi sebuah jarak yang mulai tumbuh tanpa alasan jelas. Najla tahu Lira masih menyimpan rasa sakit yang dalam, tapi dia juga tahu bahwa Lira punya sisi lain—yang penuh tawa dan humor, sisi yang biasanya hanya muncul saat mereka berdua bersama. Tapi sekarang, wajah ceria itu mulai memudar.
Najla berdiri di sudut kelas, matanya mengikuti setiap gerak-gerik Lira. Dia ingin mendekat, tapi takut mengganggu. Rasa cemas dan bingung membuatnya terpaku di tempat. Dalam hatinya, Najla bertanya, "Apa aku masih bisa jadi teman yang Lira butuhkan sekarang?"
Lira melangkah ke perpustakaan, tempat favoritnya saat ingin menyendiri. Dia duduk di pojok ruangan yang remang, menghindari pandangan siapa pun. Tangannya yang gemetar membuka tas sekolah, dan tanpa sengaja, sebuah amplop cokelat tua jatuh dari balik tumpukan buku yang ia bawa.
Lira mengangkat amplop itu, memeriksanya dengan hati-hati. Tidak ada nama pengirim, hanya sebuah tulisan kecil di ujung amplop:
"Untuk Lira, yang akan menemukan jalan."
Dengan rasa penasaran yang makin memuncak, Lira membuka amplop itu dan menemukan sebuah catatan kecil yang ditulis rapi.
"Jangan biarkan amarah menghalangi jalanmu. Jalanmu lebih dari sekadar pertarungan ini. Baca buku itu. Kamu tidak sendirian."
Bersama catatan itu, ada sebuah buku misterius—tanpa judul dan sampul yang lusuh—dengan halaman penuh tulisan tangan dan gambar-gambar abstrak yang aneh. Lira merasakan ada sesuatu yang berbeda ketika menyentuh halaman-halaman buku itu, seolah-olah buku itu mengundang dia ke dunia lain yang belum pernah dia kenal.
Sambil membuka halaman demi halaman, pertanyaan mulai berputar di kepalanya:
"Apakah semua ini sudah ditakdirkan? Apakah aku benar-benar memiliki pilihan atas hidupku?"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergema dalam benaknya, membuatnya terdiam dan termenung. Dia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertengkaran dengan Raihan atau hukuman yang dijalaninya.
Ketika Lira tenggelam dalam pikirannya, suara lembut memecah keheningan perpustakaan.
"Lira?"
Najla berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal, tapi aku ingin kamu tahu… aku ada di sini, ya. Kamu tidak sendiri."
Lira menatap sahabatnya itu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia tersenyum tipis. Senyum yang sederhana tapi penuh arti.
"Aku juga butuh itu," jawab Lira pelan.
Mereka duduk bersama, suasana menjadi lebih hangat meski di luar jendela langit semakin gelap.
Najla kemudian bertanya, "Buku apa itu? Dari mana kamu dapatkan?"
Lira menggeleng. "Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja ada di tasku."
Najla melirik halaman-halaman buku itu. "Sepertinya buku ini penuh misteri. Aku penasaran apa yang akan kamu temukan di dalamnya."
Lira mengangguk. "Aku merasa… buku ini seperti… kunci."