Lira duduk di lantai dapur, sibuk mengiris wortel dengan perlahan. Aroma sup hangat menguar ke seluruh ruangan, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Nenek mengaduk sup di atas kompor, sesekali melemparkan pandangan lembut ke cucunya.
“ Motong wortelnya jangan terlalu tebal, Ra,” ucap nenek dengan suara lembut dan penuh perhatian.
Lira mengangguk, lalu mengiris ulang wortel yang sudah terlalu tebal itu. Sunyi mengisi ruang di antara mereka, hanya suara potongan sayur dan desisan air mendidih yang terdengar.
“Tadi Najla mengajak kamu duduk bersama lagi?” tanya nenek tiba-tiba, suaranya ringan seperti hembusan angin malam.
Lira menggeleng pelan. “Tidak, nenek. Tapi aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Nenek tetap diam, matanya memandang ke arah sup yang mulai mendidih perlahan.
Sejak kejadian beberapa minggu lalu, ada jarak yang terasa di antara Lira dan Najla. Bukan kemarahan, tapi luka yang tak bisa mereka ungkapkan. Lira tahu, perasaan itu perlahan merayap masuk ke dalam hatinya—sebuah rasa yang sulit untuk disampaikan.
“Kadang, butuh waktu untuk menyembuhkan,” kata nenek perlahan, seolah tahu apa yang tengah bergelut dalam benak cucunya.
Lira menunduk, matanya masih terpaku pada potongan sayur di talenan. Ada sesuatu yang ingin diucapkannya, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Jika ia mulai bicara, mungkin air mata yang akan mengalir.
Setelah selesai menyiapkan makan malam, nenek mematikan kompor dan meletakkan mangkuk sup di atas meja kecil. “Kalau sudah lapar, ambil supnya ya, Ra.”
Lira mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berdiri, berjalan perlahan ke kamarnya. Malam itu terasa biasa, tapi ada sesuatu yang tidak tenang di dalam hatinya.
Ia merebahkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamar yang remang diterangi lampu temaram. Hening malam mulai menyelimuti rumah kecil itu.
Namun, dari balik jendela, terdengar suara gaduh dari gang depan rumah. Suara langkah kaki berat, suara teriakan kecil, dan tawa kasar memenuhi udara malam.
Lira mengintip dari balik tirai. Di gang, berdiri beberapa pria bertubuh besar, mengenakan pakaian yang aneh—kopyah putih yang biasa dipakai untuk sholat, baju koko putih yang rapi, dan masker hitam menutupi wajah mereka. Namun, aura mereka jauh dari kesan damai.