Yang Hilang dan Tak Terputus

Elaire Clain
Chapter #1

OKE! #1

Ini tidak mudah untuk menjadi seseorang yang bisa menyenangkan hati semua orang, tapi Kania telah memilihnya. Setidaknya, ia memang tak punya cukup alasan untuk bisa menolak siapa pun yang memilihnya sebagai seseorang yang bisa diandalkan. Bisa diandalkan? Itu alasan yang cukup bagus untuk menenangkan dirinya sendiri agar tak dibayang-bayangi rasa bersalah kepada siapa pun. Termasuk dirinya. Diam-diam, meskipun sejujurnya ia senang membantu semua orang yang memang membutuhkan bantuannya, di sebuah malam hening dan tak seorang pun mengetahuinya, seringkali ia begitu lama terdiam memikirkan kenapa ia tak bisa menjadi seperti orang lain. Untuk setidaknya berkata tidak. Ia benar-benar tidak bisa karena terlalu mempertimbangkan perasaan orang lain.

   Malam itu jam sembilan. Ponselnya bergetar, dan ia telah lelah dan sangat tak berminat untuk mengangkatnya. Tetapi kemudian sepasang matanya manyaksikan nama itu berkedip-kedip. Nama seseorang yang memang akan sangat sulit ia tolak keberadaannya, meskipun seandainya orang itu tak memperlakukannya sebaliknya. Ia tak terlalu peduli. Yang ia selalu ingat bahwa ia telah cukup senang bisa berada di dekat orang itu. Kenzo. Ia mengangkat telepon itu dengan suara malas yang sesungguhnya tidak dibuat-buat.

   “Selamat malam. Di sini Kania. Ada yang bisa dibanting?”

   “Ehm!”

   Terdengar deheman dari seberang, seperti sebuah ekspresi rasa jengkel. Tapi Kania tidak mempedulikannya.

   “Halo?”

   “Apaan sih …”

   “Kamu yang apaan. Malam-malam begini. Gangguin aja. Nggak ngerti apa, ini adalah waktu untuk istirahat.”

   “Tahu sih. Oke, sori jika kamu memang terganggu. Tapi ada sebuah misi penting yang harus kamu lakukan. Maksudku, aku membutuhkan bantuanmu untuk menjalankan misi ini. Nggak akan bisa kalau aku melakukannya sendirian.”

   “Misi pribadi?”

   Kania mendelik dan hampir tidak mempercayai apa yang didengarnya. Karena tanpa harus berpikir terlalu lama pun ia sudah harus bisa menebak bahwa ini tidak akan jauh-jauh dari perjuangan Kenzo untuk mendapatkan hati Veronica, sahabatnya.

   “Rasanya aku nggak perlu menjelaskan banyak hal lagi, kan? Kamu sudah mengetahui yang seharusnya terjadi.”

   “Yang seharusnya terjadi? Bisakah kamu mengulanginya sekali lagi?”

   “Uhm. Ya. Oke, ini tentang Veronica. Jadi, kamu bersedia membantuku dalam menjalankan misi, kan?”

   Tentu saja seharusnya tidak. Tapi lagi-lagi, Kania tak punya kuasa untuk menolak permintaan itu. Ia seakan tidak peduli dengan nasib perasaannya sendiri. Baginya yang terpenting adalah melihat lelaki itu bahagia. Sedangkan ia juga akan berpura-pura bahagia. Setidaknya untuk sementara waktu. Meskipun sesungguhnya ia tahu bahwa kelak segalanya tidak akan bertahan. Mungkin saja akan ada peristiwa yang membocorkan rahasia perasaannya terhadap Kenzo. Dan mungkin saja itu akan mengubah hubungannya dengan lelaki itu, sehingga kelak segalanya tidak akan pernah lagi menjadi sama.

   “Kalau aku nggak mau?”

   “Kamu harus mau.”

   “Tapi aku nggak akan melakukannya.”

   “Ayolah …”

   “Apa yang akan kamu berikan padaku sebagai imbalan? Itu nggak akan pernah murah.”

   “Apapun. Apapun yang kamu inginkan.”

   Benarkah? Tentu saja Kania hanya membatin. Jika saja Kenzo memberikan segalanya jika ia bersedia melakukan misi yang diminta lelaki itu, mungkinkah jika selanjutnya ia meminta Kenzo untuk menjadi ….

   Lamunannya segera buyar sesaat setelah suara dari seberang berteriak-teriak seperti sebuah kaset rusak.

   “Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana, Kania?”

   “Tetap saja aku nggak mau.”

   “Ayolah. Kamu kan tahu sendiri bagaimana perasaanku terhadap Veronica?”

   “Apa kamu juga tahu perasaan Veronica terhadapmu?”

   “Nah …”

   “Nah?”

Lihat selengkapnya