BAB 1: KATA YANG HILANG
JAKARTA, 2035
Tik, tik, tik.
Jemariku bergerak lincah di atas papan ketik, menuangkan kata demi kata yang nyaris sudah kuhafal di luar kepala. Otakku tak perlu lagi bekerja terlalu keras—otot-otot jari tangan ini sudah mengingat sebagian besar kalimat membosankan penuh repetisi kosong itu. Toh, apa yang kutulis tidak pernah jauh dari tren fesyen terbaru yang berganti lebih cepat daripada cuaca labil di tengah krisis iklim, atau tas miliaran milik selebriti yang takkan pernah bisa kubeli meski sudah reinkarnasi seribu kali.
Sudah setahun belakangan ini aku bekerja sebagai editor di VelvetVox, sebuah majalah lifestyle dan fashion yang lebih sering menjadi tempat sampah bagi berita sensasional dan advertorial terselubung (maupun tidak). Tentu saja, VelvetVox tidak akan pernah mengakui itu. Mereka menyebut diri sebagai trendsetter, jendela informasi bagi generasi muda urban. Tapi di balik semua label itu, VelvetVox tak lebih dari parasit kapitalisme yang menghisap klik demi klik, profit demi profit.
Tapi setidaknya di tempat sampah ini, aku punya gaji yang cukup untuk membayar tagihan kontrakan di ujung gang sempit Kota Jakarta dan tak perlu khawatir usus buntu karena makan terlalu banyak mi instan di tanggal tua.
Kubuka jendela baru di komputer, bersiap menyelesaikan artikel terakhir yang harus diedit hari ini. Kali ini, seperti kebanyakan isi VelvetVox, adalah advertorial terselubung untuk produk-produk baru. Aku membaca sekilas judulnya: Parfum Pria Terbaru—Mewakili Esensi Dominasi.
Dominasi?
Aku terdiam. Entah kenapa, seperti ada sesuatu yang janggal dengan kata itu. Rasanya... salah. Maksudku bukan karena salah ketik atau salah konteks, tapi lebih dari itu. Seolah kata itu berasal dari bahasa yang seharusnya aku kenali, tapi sekarang terasa asing, seperti fragmen mimpi yang memudar begitu saja saat bangun tidur.
Tanpa sadar, aku mengernyitkan kening. Semakin lama ditatap, semakin janggal kata itu terasa. Seperti ada sesuatu yang berusaha menarikku ke dalam lubang kelinci yang tidak seharusnya kumasuki.
Tak sanggup menahan rasa penasaran, aku akhirnya membuka tab baru, mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia daring. Dengan cepat, aku mengetik: dominasi.
Hasil tidak ditemukan.
Jari-jariku sontak membeku di atas keyboard.
Apa?
Aku menghapus lalu mengetik ulang. Mungkin ada kesalahan jaringan.
Hasil tidak ditemukan.
Jantungku berdegup lebih cepat. Ini tidak masuk akal. Kata ini seharusnya ada. Kata ini harusnya memiliki definisi. Bagaimana mungkin sesuatu yang terasa begitu umum tidak tercatat dalam KBBI?
Perasaan tidak nyaman seketika merayapi tubuhku. Aku mencoba mencari di Google, berharap ada artikel atau jurnal yang bisa membuktikan bahwa kata ini masih eksis di dunia nyata. Tapi yang muncul hanyalah halaman kosong, atau lebih aneh lagi—artikel dengan kata "dominasi" yang tampaknya sudah disunting ulang.
Seolah kata itu... telah dihapus.
“Lintang!”
Suara nyaring itu membuatku tersentak. Aku menoleh dan menemukan Anita, pemimpin redaksi VelvetVox, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kesal. Stiletto lima belas sentimeter yang dikenakan Anita menciptakan bunyi tajam setiap kali ia melangkah mendekati kubikelku.
“Kenapa lama banget sih, Beb? Kita harus naikin artikel parfum HMNS hari ini juga! Gue udah ditanyain marcomm-nya, nih.”
Aku mengerjapkan mata, masih berusaha mengusir kebingungan dari pikiran. “Ah, iya. Sori, Anita. Lima belas menit lagi, ya.”
Anita mendengus. “Makanya lo nggak usah terlalu ribet sama ejaan-ejaan apaan itu lah! Nggak penting juga. Berita di VelvetVox itu yang penting provokatif dan menarik, bukan akurat.”
Ini lagi. Aku hanya tersenyum tipis. Tidak ada gunanya berdebat dengan Anita–atau siapapun di kantor ini–soal bahasa. Aku kembali menatap layar, berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang menggelayut di pikiran.
Namun, kata itu seakan terus bergema di kepala.