Yang Hilang dari Kita

Nada Azka Maulida
Chapter #3

Bab II: Hantu Masa Lalu

DEPOK, 2023 


"LINTANG, kalau kapitalisme adalah hantu, maka tugas kita adalah jadi pengusir setan.”

Aku mengangkat wajah dari kliping tugas kuliah yang menyita perhatianku sejak satu jam lalu. Di sudut sekretariat pengap dengan dinding penuh coretan, di mana aroma kopi yang didiamkan berhari-hari bercampur dengan asap tembakau, Nayaka Wiradipa duduk dengan santai, rokok Sampoerna terselip di jemarinya. Di depannya, berserakan buku-buku tebal yang sebagian besar berisi catatan kaki dan analisis ekonomi politik yang hanya segelintir orang sanggup membacanya tanpa sakit kepala. Tentu saja, Nayaka adalah salah satunya. 

Mendengar itu, aku terbahak kecil. "Hantu? Lo lagi baca Marx atau novel mistis, sih?"

Nayaka tertawa, tapi matanya tetap tajam. "Marx, jelas. Tapi dengerin, deh. Lo tahu kenapa sistem ini bertahan? Karena dia nggak kelihatan. Kayak hantu, dia ada di mana-mana, tapi orang-orang nggak sadar. Makanya, kita butuh nggak cuma teori, tapi juga tindakan."

Aku menutup buku perlahan, menatap Nayaka dengan alis sedikit terangkat. "Dan tindakan yang lo maksud itu apa? Turun ke jalan kayak yang udah kita lakuin seribu kali? Bagi-bagi selebaran? Atau debat di Twitter?” aku tersenyum tipis. “Dunia ini nggak akan berubah selama masih banyak yang terlalu nyaman ada di sistem yang sama, Nay.” 

Nayaka menyeringai, lalu mengambil secarik kertas yang sudah menguning dari meja. Ia mengangkatnya di depan wajahku, seakan sedang menyodorkan bukti tak terbantahkan. "Ini, Lintang. Manifesto mahasiswa tahun '98. Dulu, mereka juga mulai dari sekretariat kumuh kayak gini, merangkai kata, membangun gerakan. Sekarang, kita di sini, di ruangan yang sama, di situasi yang sama. Yang beda cuma para tirani yang duduk di kursi atas."

Aku menghela napas, melirik sekilas poster usang yang tertempel di dinding sekretariat. Wajah-wajah demonstran dengan tinju terangkat, slogan revolusioner yang mulai memudar tertimpa debu waktu. Di sudut ruangan, seorang anggota baru tampak tertidur dengan kepala tertelungkup di atas buku Tan Malaka yang terbuka.

"Kadang gue mikir, Nay," ujarku pelan. "Gue masuk ke sini awalnya cuma karena suka baca. Tapi makin lama, makin terasa kalau semua ini lebih besar dari yang gue kira. Seolah kita cuma butiran debu di roda raksasa yang nggak bisa dihentikan."

Nayaka membuang asap rokoknya ke udara. "Lo tahu, kenapa teori hegemoni itu penting? Karena Gramsci paham, kalau perlawanan nggak cuma soal angkat senjata. Ini soal siapa yang bisa mengendalikan cara orang berpikir. Dan kita? Kita sedang melawan dominasi itu."

Suasana sekretariat terasa makin suram, bukan karena redupnya lampu Philips yang nyawanya sudah di ujung penghabisan, tetapi karena kenyataan yang baru saja diucapkan. Aku meremas lembar kliping di tangan, menatap kembali Nayaka yang kini tengah menuliskan sesuatu di buku catatannya.

“Kalau kapitalisme itu hantu, lo pikir kita mesti jadi exorcist?” Suara Tara, mahasiswi Fakultas Ilmu Komputer yang entah kenapa di sela-sela kesibukannya masih menyempatkan diri jadi aktivis BEM menyambar, terdengar sinis di sela-sela suara tuts keyboardnya yang ditekan cepat. “Kedengerannya keren, tapi nggak segampang itu.”

Lagi, Nayaka menghembuskan asap rokoknya perlahan, bibirnya menyunggingkan senyum khasnya yang tak pernah gagal membuat orang ingin mendengarkan kata-katanya lebih jauh. “Itu makanya kenapa kita di sini. Kita bukan cuma kumpulan orang sok intelektual yang baca buku dan diskusi doang. Kita punya strategi.”

Aku terkekeh. “Percakapan jam tiga pagi, nih.”

Mendengar itu, Ganesh, salah satu rekan mereka yang lain, mendongak dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sedang dilafalkannya untuk ujian besok. “Strategi lo apaan? Demo lagi? Orasi lagi? Udah berapa kali kita lakuin itu semua dan keadaan nggak berubah juga?”

Nayaka mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menajam. “Itu dia–yang gue maksud bukan sekadar demo. Kita harus masuk lebih dalam. Kita perlu membangun kontra-hegemoni.”

Aku menyilangkan tangan di dada, mencoba mencerna kata-kata itu. “Kontra-hegemoni kayak gimana? Lo tahu sendiri, kan, gerakan kita selalu kena represi? BEM cuma bisa berkoar-koar, tapi realitasnya, setelah aksi, kita balik lagi ke kelas dan hidup kayak biasa.”

Nayaka tertawa kecil, menggeleng. “Lintang, makanya lo harus mulai mikir lebih jauh. Kita nggak bisa cuma mengandalkan aksi jalanan atau tulisan opini. Kita harus mulai dari bahasa, dari cara orang berpikir, dari konsep-konsep yang mereka anggap ‘biasa’. Itu yang bikin sistem ini bertahan.”

Tara menghentikan kodingannya, mengangkat alis. “Jadi lo mau bilang, perubahan harus dimulai dari cara kita bicara?”

Nayaka mengangguk. “Persis. Bahasa adalah alat kekuasaan. Lo pernah denger Gramsci?”

Ganesh terkekeh. “Siapa di sini yang nggak pernah denger Gramsci? Lo pikir kita apaan?”

Aku hanya diam, pikiranku berputar pada kata-kata Nayaka. Saat itu, aku belum menyadari betapa pentingnya percakapan ini. Betapa kata-kata yang dilemparkan Nayaka di ruangan kecil itu akan terus menghantuiku bertahun-tahun kemudian.

Kusandarkan punggung ke meja kayu yang reyot. Kata-kata Nayaka terus terngiang di kepala, tapi aku tak buru-buru merespons. Aku tahu, dalam setiap diskusi seperti ini, Nayaka selalu menjadi pusat gravitasi. Cara bicaranya, cara tangannya bergerak saat berargumen, dan bagaimana ia melemparkan ide ke udara seakan-akan itu bukan sekadar pemikiran kosong—tapi terlihat sesuatu yang mungkin bisa diwujudkan.

“Jadi menurut lo, semua ini bisa kita lawan dari bahasa?” Aku akhirnya membuka suara.

Nayaka tersenyum. “Bahasa, budaya, cara orang berpikir. Kapitalisme–atau kekuasaan apapun secara umum, bertahan bukan cuma dengan menguasai ekonomi, militer, atau otoritas, tapi dengan membentuk cara kita melihat dunia. Itulah hegemoni.”

Aku menghela napas. “Tapi lo sadar, kan? Biarpun kita ngerti ini semua, nggak berarti kita bisa ngerubahnya begitu aja. Kita masih terjebak dalam sistem yang sama.”

Ganesh menimpali. “Itulah masalahnya. Kebanyakan orang nggak sadar bahwa mereka sebenarnya hidup dalam konstruksi yang dibuat untuk melanggengkan status quo.”

Tara mendengus. “Itu dia. Orang nggak peduli. Selama hidup mereka nggak terganggu, mereka nggak akan mikirin ini. Lo pikir rakyat peduli soal hegemoni? Mereka peduli harga beras, cicilan, dan tagihan listrik.”

Nayaka mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja. “Persis. Tapi justru itu poinnya. Kalau kita bisa mengubah cara mereka memahami masalah-masalah itu, kita bisa mengubah cara mereka bertindak. Makanya, gerakan kita harus lebih dari sekadar aksi. Kita butuh strategi jangka panjang. Kita harus masuk ke ruang-ruang yang membentuk opini publik.”

Aku menatap Nayaka, lalu mengalihkan pandangannya ke tumpukan buku di meja. Di antara buku-buku yang berserakan, matanya menangkap sebuah nama yang familiar—Antonio Gramsci.

Aku mengambil buku itu, membuka halaman pertama, dan membaca kutipan yang tercetak di sana:

"The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters." 

Aku menggigit bibir. Entah kenapa, aku merasa kata-kata itu akan terus menghantui.

***

Lihat selengkapnya