Yang Hilang dari Kita

Nada Azka Maulida
Chapter #4

Bab III: Dominasi Solipsisme

JAKARTA, 2025

Aku masih bisa merasakan bau gas air mata dan pedih yang merayapi mata dan hidungku. 

Malam itu, langit Jakarta gelap tanpa bintang. Di antara gedung-gedung bertingkat yang menjulang, jalanan dipenuhi lautan manusia yang berseru, mengangkat poster, dan menyalakan suar merah di tengah kerumunan. Barisan polisi berhelm hitam berdiri di seberang mereka, tameng mereka berkilat di bawah sorot lampu jalan.

“Siap-siap,” suara Nayaka terdengar di sampingku, tenang tapi tak kuasa menyembunyikan ketegangan yang menggelayut di ujung tenggorokannya. 

Aku menoleh, memandangnya dengan napas yang masih memburu. Kaus hitam Nayaka sudah dipenuhi debu dan wajahnya memerah akibat kelelahan dan terlalu banyak berlari. Keringat membasahi pelipisnya, bercampur dengan jelaga dari flare yang mereka nyalakan beberapa menit lalu.

Di sisi lain, Tara sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya dengan ekspresi cemas. “Mereka mulai merapat ke blok sebelah. Ganesh bilang ada barikade di perempatan, kita nggak bisa mundur ke belakang.”

Kuedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok yang disebut. Di seberang lautan manusia, aku menemukan Ganesh berdiri di atas pembatas jalan, wajahnya datar tapi matanya penuh perhitungan. Ia selalu seperti itu—selalu bisa membaca situasi, seolah ia sedang bermain catur di tengah kekacauan.

“Lintang.” Nayaka menepuk bahunya. “Kalau situasi kacau, jangan terpisah dari gue.”

Aku menelan ludah. “Lo sendiri yang bilang, kalau kita takut, kita kalah.”

Nayaka tertawa kecil, tapi ada sesuatu dalam matanya—kekhawatiran yang jarang ia tunjukkan. “Takut dan waspada itu beda.”

Sebuah suara tembakan ke udara memecah malam. Tembakan peluru asli, bukan sekadar gas air mata.

Suasana berubah seketika. Dari mobil komando di ujung barisan, seseorang meneriakkan peringatan. “Mereka mulai menyerang! Jangan terpancing! Tetap bertahan!”

Lalu, seperti gelombang yang pecah di karang, barisan polisi bergerak maju.

Aku nyaris tidak sempat berpikir sebelum gas air mata dilemparkan ke arah mereka. Orang-orang di sekitarnya mulai berhamburan, beberapa batuk dan terjatuh, yang lain mencoba tetap bertahan sambil menyeka air mata mereka.

“Gas air mata!” seseorang berteriak.

Aku buru-buru menutupi hidung dan mulutnya dengan kain basah yang sudah ia siapkan. Meski sudah dilapisi pasta gigi, mataku tetap perih dan dadaku sesak. Di sebelahku, Nayaka menarik Tara yang hampir kehilangan keseimbangan.

Ganesh masih berdiri di tempatnya, tangan terkepal di sisi tubuhnya. “Kita harus geser ke kiri, ada gang pemukiman penduduk di sana–kalau ke kanan kita bakal kejebak di fly over!” suaranya keras, menusuk kebisingan.

Kami mencoba mengikuti arah yang ia tunjuk, tapi kerumunan semakin kacau. Suara pentungan menghantam tubuh-tubuh yang tak sempat menghindar, jeritan bercampur dengan suara kaca pecah.

Lalu semuanya terasa lebih cepat dari yang bisa dicerna.

Seorang mahasiswa jatuh di depanku, tubuhnya kejang-kejang setelah terkena tembakan gas tepat di dada. Aku mencoba menghampirinya dan berjongkok, tapi air mata dan batuknya membuatnya sulit untuk bergerak cepat.

Nayaka menggenggam tanganku lebih erat. “Lari! Nggak ada waktu!”

Dadaku terasa semakin sesak–bukan oleh gas air mata yang ditembakkan tanpa ampun, melainkan oleh gumpalan ngeri dan rasa bersalah yang bergejolak hebat.

Kami berlari melewati kerumunan, mencoba mencari jalan keluar. Di sekitar mereka, orang-orang mulai terpencar. Beberapa mahasiswa masih berusaha bertahan di barikade, sementara yang lain berusaha menyelamatkan diri.

Aku menoleh sekilas dan melihat Reza, salah satu mahasiswa baru yang ikut turun aksi, diseret oleh dua polisi berbadan besar. Aku ingin berbalik, ingin meraih Reza kembali, tapi Nayaka menariknya lebih kuat.

“Jangan bodoh!” Nayaka berseru. “Lo nggak bisa nolong dia kalau lo juga ketangkep!”

Aku ingin berteriak, ingin menolak, tapi udara di dadaku terasa berat, penuh dengan gas yang menyengat.

Kami berbelok ke gang sempit di antara dua bangunan tua, napas kami berdua terengah-engah. Nayaka menyandarkan tubuhnya ke dinding, menunduk sambil mencoba mengatur napas.

Tak berapa lama kemudian, Ganesh dan Tara juga berhasil masuk ke gang itu. Tara masih batuk parah, tangannya gemetar saat mencoba menuangkan air ke kainnya untuk menyeka wajahnya.

Ganesh menekan punggungnya, berusaha menenangkan. “Lo nggak apa-apa?”

Tara mengangguk, meskipun jelas ia masih kesulitan bernapas. “Kita nggak bisa balik ke jalan utama.”

“Lo kira gue nggak tahu?” Ganesh menatap ujung gang dengan waspada.

Aku meremas ujung jaket almamaterku getir. “Sekarang kita harus ke mana?”

Sebelum ada yang sempat menjawab, suara langkah berat mendekat dari ujung gang. Bayangan orang-orang berseragam semakin jelas di bawah lampu jalan.

Kami sudah terpojok.

Napasku masih tersengal dan mataku berair akibat gas air mata yang belum sepenuhnya hilang dari tenggorokan. Tara bersandar di dinding, masih batuk keras, sementara Ganesh berdiri di depan kami, tubuhnya kaku seperti kawat baja yang siap menegang kapan saja.

Nayaka menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, lalu bergerak cepat. Ia meraih bahuku, menariknya lebih dekat. “Dengerin gue. Kita nggak bisa diam di sini.”

Ganesh mengangguk, tatapannya tak lepas dari bayangan yang semakin dekat. “Ada jalan keluar di belakang bangunan ini.”

Suara langkah sepatu berat semakin dekat. Tara menggigit bibirnya, jelas berusaha menahan ketakutan.

“Kita harus pergi sekarang,” ujar Nayaka tegas.

Tanpa menunggu jawaban, kami berempat mulai bergerak. Menyusuri gang yang semakin gelap, berbelok di antara tembok-tembok tua yang dipenuhi poster dan coretan piloks perlawanan. Aku bisa merasakan detak jantungku sendiri di telinga, langkahku terasa berat, tapi aku terus mengikuti Nayaka yang berjalan paling depan.

Kami sampai di ujung gang yang buntu, hanya ada pagar besi tua setinggi bahunya.

“Lo yakin ini jalan keluar?” Aku hampir tak percaya.

Ganesh tidak menjawab. Ia memanjat pagar itu tanpa ragu, gerakannya gesit meskipun jaketnya berkibar liar tertiup angin. Begitu sampai di atas, ia melompat turun ke sisi lain dengan mudah.

“Tara, lo duluan,” ujar Nayaka.

Tara ragu sejenak, tapi akhirnya mengumpulkan keberanian dan mulai memanjat. Tangannya gemetar saat mencengkeram besi tua, tapi Ganesh sudah siap di seberang, menangkap lengannya saat ia hampir kehilangan keseimbangan.

“Lintang, sekarang lo.”

Aku mereguk ludah, mengikuti. Aku bisa mendengar suara di belakang semakin dekat, suara seruan dan langkah kaki yang tergesa.

Ketika aku sudah hampir sampai di puncak pagar, sesuatu menarik kerah bajunya dengan kasar.

Aku terhuyung, jantungku serasa berhenti.

Sebuah tangan mencengkeramku, menarikku ke belakang.

“Lintang!” Nayaka berteriak.

Aku berusaha menendang, mencakar, apa saja untuk melepaskan diri. Tapi cengkeraman itu kuat, dan sebelum aku bisa berbuat lebih banyak, sebuah pukulan menghantam perutku.

Dunia berputar.

Aku jatuh ke tanah dengan napas tersengal, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Suara langkah kaki lain mendekat, dan gelombang kesadaran menamparku–kami dikepung.

“Nayaka—” tersendat, aku berusaha bersuara, tapi suaraku tertelan oleh keributan di sekeliling.

Nayaka bergerak cepat, mengayunkan sikunya ke wajah pria berseragam yang menahannya. Ada suara tulang bertemu daging, dan pria itu mundur selangkah, cukup bagi Nayaka untuk menarikku berdiri.

“Lari!”

Aku ingin berlari, tapi tubuhku lunglai, tak mampu bereaksi akibat pukulan tadi.

Sebelum aku bisa bergerak lebih jauh, satu pentungan kembali menghantam punggungku.

“Mau ngapain lo, perek?” hardik suara sosok yang memukulku. Aku tersungkur di aspal yang kasar, wajahku nyaris mencium tanah. Rasa sakit berdenyut menjalari seluruh aliran darahku. 

“Mulut lo dijaga, bangsat!” 

Aku bisa mendengar Nayaka berteriak dan menerjang. Ganesh berusaha menariknya kembali, tapi dua pria berbadan besar sudah mencengkeram bahunya. Sosok-sosok itu mengerubungi Nayaka, melayangkan senjata dan bogem mereka—dan ia pun rubuh ke tanah. 

Ganesh masih melawan, satu-satunya yang belum terseret ke tanah. Tapi ia jelas kalah jumlah.

Kemudian sesuatu menghantam kepalaku dari belakang, dan semuanya menjadi gelap.

***

Sakit.

Itu yang pertama kali terlintas di kepala saat kesadaranku kembali. Keningku masih berdenyut, punggungku terasa seperti dihantam batu berkali-kali, dan ada rasa logam yang asin di mulutku—darah.

Pandanganku masih buram ketika aku mencoba mengangkat wajah. Udara di sini dingin dan lembap, baunya apek, seperti ruangan yang sudah lama tak dibersihkan. Dari sudut mata, aku melihat Tara duduk bersandar ke tembok, wajahnya pucat dan bekas air mata mengering di pipinya.

Di sebelah Tara, Ganesh duduk dengan tangan terikat di belakang kursi, wajahnya lebam. Napasnya pendek, seperti baru saja menerima pukulan keras di perut.

Nayaka ada di ujung ruangan, tubuhnya juga terikat ke kursi. Wajahnya lebih parah dari yang lain—ada bekas darah kering di pelipisnya, dan salah satu sudut bibirnya membengkak. Matanya yang biasa terlihat tajam dan dingin kini penuh api, penuh amarah.

Lihat selengkapnya