AKU duduk dengan tegap, sedikit gugup, sementara Nayaka menyandarkan punggungnya pada kursi, tangannya terlipat di atas meja. Di hadapan kami, Prof. Laras Sasmita, wanita paruh baya dengan mata sejernih kristal dan guratan sisa kecantikan masa muda menyesap tehnya dengan tenang sebelum meletakkan cangkir porselen itu kembali ke tatakannya. Kami baru saja terlibat perdebatan panas dengan Dio, mahasiswa jenius filsafat, di kelas Filsafat Manusia tadi. Dan meski Dio sudah skak mat dan tak mampu menjawab, rupanya kami masih haus untuk lanjut berdiskusi dengan Prof. Laras.
"Baiklah," ujar Prof. Laras, matanya bergantian menatap dua mahasiswanya. "Saya sudah mendengar perdebatan kalian di kelas tadi–jujur, sangat menarik–tapi saya ingin tahu kesimpulan kalian sendiri. Menurut kalian, realitas itu dibentuk oleh sistem atau individu?"
Aku menarik napas pelan sebelum menjawab. "Jika melihat dari sudut pandang Baudrillard, realitas kita tidak lebih dari simulasi. Kita tidak benar-benar mengalami dunia sebagaimana adanya, tetapi hanya versi yang telah dikonstruksi oleh simbol dan representasi yang diciptakan oleh sistem. Dengan kata lain, individu tidak pernah benar-benar memiliki kendali atas realitas yang ia alami."
Nayaka mengangkat alis, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Tapi kalau kita pakai sudut pandang eksistensialis, individu masih punya peran besar. Sartre berpendapat bahwa manusia bebas menciptakan makna mereka sendiri. Jika realitas sepenuhnya dikendalikan oleh sistem, maka tidak ada gunanya kita berpikir atau melawan. Tapi faktanya, sejarah menunjukkan bahwa individu bisa membentuk perubahan."
Prof. Laras menyandarkan punggungnya, tatapannya penuh ketertarikan. "Argumen yang menarik. Tetapi jika kita membawa ini ke ranah yang lebih konkret, misalnya politik, bagaimana kalian melihatnya?"
Nayaka melirikku sebentar sebelum menjawab. "Dalam politik, sistem memang punya kendali besar terhadap bagaimana masyarakat melihat realitas. Narasi yang dibangun lewat media, institusi, bahkan kurikulum pendidikan bisa membentuk cara berpikir orang-orang. Tapi bukan berarti individu tidak bisa melawan itu. Gerakan sosial, misalnya, seringkali dimulai oleh individu atau kelompok kecil yang menolak tunduk pada narasi dominan."
Aku mengetukkan jarinya pelan di permukaan meja. "Tapi individu tetap berada dalam batasan sistem. Bahkan ketika mereka melawan, mereka masih bermain dalam aturan yang sudah ditetapkan. Realitas yang mereka coba ubah tetap dalam kerangka yang dibentuk oleh sistem sebelumnya. Kalau meminjam istilah Baudrillard, mereka bisa saja hanya menciptakan simulasi baru, bukan realitas yang benar-benar bebas dari sistem."
Prof. Laras mengangguk pelan, lalu menatap keduanya dengan sorot penuh perhatian. "Lalu, bagaimana dengan kalian sendiri? Dalam posisi kalian sekarang, apakah kalian merasa memiliki kebebasan untuk menentukan realitas kalian sendiri? Atau kalian merasa sedang memainkan peran dalam sistem yang lebih besar?"
Mendengar ucapan Prof. Laras, aku sontak terdiam sejenak, pikiranku berputar. Sementara itu, Nayaka tersenyum kecil, tapi tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu terasa sukar, karena tidak hanya bersifat akademis tapi juga seakan menyentuh sesuatu yang lebih dalam, lebih personal.
Aku gantian melirik ke arah Nayaka, menunggu apakah pemuda itu akan menjawab lebih dulu. Tapi Nayaka malah menatapku balik dengan ekspresi penuh arti, seakan ingin tahu jawabanku sebelum dirinya sendiri berbicara.
Aku menyerah, menghela napas. "Saya rasa… saya masih mencoba mencari tahu," kataku pelan. "Ada banyak momen di mana saya berpikir bahwa saya punya kendali penuh atas pilihan saya. Tapi ada juga saat-saat ketika saya merasa semua ini sudah ditentukan dari awal. Seperti, bahkan pilihan yang saya buat pun sebenarnya sudah dibentuk oleh sistem yang lebih besar."
Prof. Laras menatapku penuh minat. "Jadi, menurutmu kebebasan itu hanya ilusi?"
Aku menimbang-nimbang sebelum menjawab. "Bukan sekadar ilusi, lebih seperti… batasan yang tidak selalu terlihat. Kita bisa merasa bebas, tapi sebetulnya kita hanya bergerak dalam ruang yang sudah ditentukan sebelumnya."
Prof. Laras mengangguk, lalu beralih pada Nayaka. "Dan bagaimana denganmu?"
Nayaka bersandar ke kursinya, senyumnya tipis. "Saya setuju bahwa sistem membentuk realitas kita, tapi saya juga percaya bahwa individu punya ruang untuk menegosiasikan realitas mereka sendiri. Bahkan kalau kita hidup dalam simulasi sekalipun, kita masih bisa memilih bagaimana kita meresponsnya. Saya memilih untuk percaya bahwa ada kebebasan, meskipun terbatas."
Aku memutar mata. "Tentu saja kamu memilih itu. Itu jawaban yang paling optimis."
Nayaka terkekeh. "Dan kamu selalu lebih pesimis dari yang seharusnya."
Prof. Laras tertawa kecil, lalu menyilangkan tangannya di atas meja. "Diskusi yang menarik. Kalian berdua mengingatkan saya pada perdebatan lama antara determinisme struktural dan agensi individu." Ia menatap kami dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Tapi pada akhirnya, apakah kalian merasa bahwa kalian yang memilih untuk berada di sini saat ini, atau kalian hanya mengikuti arus yang sudah ditentukan?"
Aku ingin menjawab, tapi sesuatu dalam pertanyaan itu membuatnya terdiam. Nayaka juga tampak berpikir, meskipun senyum tipis masih tersisa di wajahnya.
Di luar, matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga yang menerobos masuk melalui jendela ruangan. Diskusi ini, pertanyaan-pertanyaan ini, rasanya lebih dari sekadar obrolan akademis. Seperti ada sesuatu yang lebih besar di baliknya—sesuatu yang, saat itu, belum bisa kami pahami sepenuhnya.
Dan di dalam hati kecilku, aku mulai bertanya-tanya… apakah aku benar-benar masih memegang kendali atas jalan hidupnya sendiri?
Diskusi tersebut berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Prof. Laras pamit karena ada rapat. “Saya senang bertemu dengan mahasiswa Filsafat setajam kamu, Lintang,” ujarnya, lalu mengerling pada Nayaka. “Dan tentunya, mahasiswa Politik yang semangat sekali belajar Filsafat seperti Nayaka. Semoga kamu sering menghadiri kelas-kelas kami karena memang betulan ingin belajar, ya.”
Nayaka tersenyum simpul, tampak sedikit tersipu dengan sindiran halus itu. Untuk beberapa alasan, aku pura-pura tidak mendengarnya.
Selepas kepergian Prof. Laras, kami memutuskan untuk duduk di anak tangga paling atas gedunf Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, menyandarkan punggung pada tembok yang catnya mulai mengelupas. Malam itu udara terasa hangat, angin hanya sesekali berembus membawa sisa aroma tanah basah. Di bawahnya, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang sepi.
Nayaka turun perlahan, lalu duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa. Seperti biasa, laki-laki itu tidak pernah terburu-buru untuk bicara. Ia mengeluarkan rokok menthol dari sakunya, menyalakannya dengan santai, lalu menghembuskan asap tipis ke udara.
"Gue nggak nyangka lo bener-bener bikin si Dio mati kutu tadi,” Nayaka membuka percakapan, senyumnya mengembang. "Argumen lo soal realitas simulasi itu… gokil sih."
Aku tertawa kecil, menoleh ke arahnya. "Dia yang mulai duluan ngomongin Baudrillard. Gue cuma ngelanjutin."
"Tapi lo yang bikin dia diem." Nayaka menggeleng pelan. "Gue pikir dia bakal balas, tapi ternyata dia malah langsung ngubah topik."
"Karena dia tahu gue benar." Aku menyeringai.
Nayaka terkekeh, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebungkus permen karet. Ia melemparkan satu ke arahku, yang bergegas menangkapnya dengan reflek cepat.
"Hadiah karena menang debat?" aku menaikkan alis.
"Hadiah karena udah bikin perkuliahan jadi seru," Nayaka mengoreksi. "Gue suka ngelihat lo kayak tadi—penuh semangat, nggak ada keraguan. Lo tau nggak, ada momen pas lo ngejelasin, semua orang diem dan cuma dengerin?"
Aku mengangkat bahu, berusaha menutupi rasa bangga yang menyeruak diam-diam. Nayaka tak punya ide bahwa selama ini itulah bagaimana caraku melihatnya. "Mungkin mereka lagi berusaha ngertiin omongan gue."
“Mungkin," Nayaka mengakui. "Atau mungkin mereka terhipnotis."
Refleks, aku melemparkan bungkus permen kosong ke arah Nayaka, yang tertawa sambil mengelak. Angin malam berembus pelan, membawa sisa dingin dari hujan sore tadi. Aku merasa nyaman—terlalu nyaman, mungkin. Bersama Nayaka, waktu selalu terasa lebih ringan, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Kamu percaya omongan Prof. Laras tadi?” tanyaku akhirnya, suaraku nyaris tenggelam oleh suara jangkrik yang berkerik berisik. Aku bahkan tanpa sadar tak lagi menggunakan gue–lo pada Nayaka, tapi untuk beberapa alasan, tak ingin repot-repot mengoreksi.
Nayaka melirik ke arahnya, bibirnya sedikit melengkung. “Bagian yang mana?”
Aku mengedikkan bahu. “Tentang kebebasan yang cuma ilusi, atau tentang kita yang mungkin cuma hanyut dalam arus tanpa sadar.”
Nayaka tersenyum kecil, menyesap rokoknya. “Aku masih percaya kita selalu punya pilihan. Kadang nggak selalu besar, kadang juga terasa remeh, tapi tetap pilihan.”
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. “Optimis banget.”
Nayaka terkekeh. “Dan kamu masih terlalu skeptis.”
Kami terdiam sejenak, menikmati keheningan yang entah bagaimana terasa nyaman. Dari dalam ruang kelas, samar-samar terdengar suara mahasiswa lain yang masih berdiskusi, bercampur dengan tawa kecil dan denting gelas kopi.
Aku mengayunkan kaki pelan. “Kalau besok aku berhenti datang ke sekretariat, dan fokus aja magang korporat, itu juga pilihan?”
Nayaka menoleh, menatapku dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Tergantung. Kamu berhenti karena memang mau, atau karena ngerasa nggak punya pilihan?”
Aku mendengus malas, memutar bola mata. Aku benci sekali saat Nayaka membalikkan pertanyaan seperti itu.
“Berarti, yang kayak Julian … itu juga pilihan?”
Nayaka terdiam. Melihat itu, tanpa sadar aku meremas ujung kemeja–aku tahu sudah menyinggung topik sensitif. Julian Santoso adalah mantan Ketua BEM Universitas Indonesia, mentor sekaligus figur kakak bagi Nayaka sebelum ia memutuskan ‘menyeberang’ ke sisi pemerintah. Ia bergabung dengan salah satu partai besar yang berkontribusi dalam memperlancar kebijakan-kebijakan kejam yang menyiksa rakyat.
“Kadang kita baru sadar kalau sudah memilih setelah semuanya terjadi,” lanjut Nayaka, suaranya lebih pelan. “Pas kita lihat ke belakang.”
Aku menghela napas, lalu menyipitkan mata ke arahnya. “Itu terdengar kayak omongan orang yang bakal nyesel di masa depan.”
Nayaka tertawa kecil, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku ingin bertanya lebih jauh.
“Lintang.”
“Apa?”
Nayaka menginjak puntung rokoknya untuk mematikan api, lalu menatapku. “Kalau suatu hari nanti aku berhenti datang ke sekre, berhenti ikut diskusi, dan memilih jalan lain… kamu bakal percaya kalau itu pilihan aku sendiri?”
Aku mengernyit. Kata-kata itu terdengar ganjil dan aku mencoba mencari makna di balik kata-kata itu. Tapi sebelum aku sempat menjawab, Nayaka sudah berdiri, meregangkan tubuh seperti orang yang baru saja puas menghabiskan waktunya dengan baik.
“Udah malam. Aku antar kamu pulang?” tanyanya ringan, seakan percakapan tadi tidak pernah ada.
Tentu, aku ingin protes, ingin meminta penjelasan, tapi sesuatu di dalam dirinya menahannya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diucapkan. Atau mungkin aku hanya tak ingin mendengar jawabannya.
“Ya sudah,” gumamku, menuruni tangga satu per satu. “Tapi kamu traktir es kopi dulu.”
Nayaka terkekeh, merogoh sakunya. “Kayaknya aku baru aja kehilangan kebebasan buat nolak.”
Aku tertawa, dan untuk malam ini, malam ini saja … aku membiarkan diri menikmati momen itu tanpa terlalu banyak berpikir.
***
DOMINASI SOLIPSISME: BAHASA, KUASA, DAN BATAS REALITAS
Oleh: Laras Sasmita, S.Hum., M.Hum., PHD
"Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku." – Ludwig Wittgenstein
Dalam dunia yang dikuasai oleh mereka yang memahami cara kerja bahasa, realitas bukanlah sesuatu yang objektif—ia adalah permainan. Sebuah permainan bahasa di mana aturan ditentukan bukan oleh kenyataan itu sendiri, tetapi oleh mereka yang berkuasa atas kata-kata.
Dominasi solipsisme bekerja dalam senyap, bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan memanipulasi struktur berpikir manusia. Kita tidak bisa berpikir di luar bahasa yang kita miliki. Kita tidak bisa memahami sesuatu yang tidak bisa kita namai. Maka, penguasa sejati bukanlah mereka yang memegang senjata, tetapi mereka yang menentukan apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak.
Dalam sistem ini, kebenaran bukan lagi soal fakta, melainkan soal konstruksi. Narasi bisa diciptakan, dihapus, dimodifikasi. Kata-kata bisa diisi ulang dengan makna baru, seperti Orwellian newspeak, tetapi lebih halus, lebih mengakar. Jika sebuah ide tidak bisa diartikulasikan dalam bahasa yang ada, maka ide itu akan mati sebelum sempat menjadi pemikiran.
Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam permainan bahasa (language-game). Jika sebuah konsep dilarang untuk dimainkan, jika kata-katanya dihapus, maka maknanya akan menghilang—bukan karena konsep itu salah, tetapi karena ia tidak bisa lagi ada dalam realitas linguistik kita.
Di sinilah dominasi solipsisme mencapai puncaknya. Ia tidak perlu membakar buku atau membungkam lawan. Ia cukup menggeser makna, menghilangkan kata-kata tertentu, hingga realitas yang tidak diinginkan perlahan lenyap, tenggelam dalam kehampaan.
Dan di tengah kehampaan itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan. Sebuah kata yang tidak boleh diucapkan.
Aku meremas ujung kertas koran yang sudah menguning dan rapuh itu. Ada sesuatu yang mencekal tenggorokan–rasa takut, penasaran, atau … antusiasme? Entahlah, aku sendiri tidak mengerti. Sejak memutuskan mengikuti Mahesa, Rani, dan Bima ke markas utama untuk bergabung secara resmi dengan kelompok bawah tanah yang mengaku ingin menciptakan revolusi ini, aku masih tidak bisa mencerna perasaanku sendiri.
Markas utama bukanlah tempat yang kubayangkan sebelumnya—bukan ruangan bawah tanah penuh senjata atau ruang rapat ala konspirasi. Ini lebih mirip sebuah perpustakaan tua yang dipenuhi buku-buku berserakan, peta-peta dengan coretan tinta merah, dan papan tulis besar yang penuh dengan diagram rumit. Aku menemukan koran berisi artikel Prof. Laras terhampar di meja, seolah sengaja ingin aku menemukannya.
“Akhirnya kamu sampai juga, Lintang. Kami sudah lama menunggumu.”
Suara berat itu … jantungku sontak mencelus. Aku tahu betul siapa itu bahkan tanpa harus menengadah dan melihat.
Julian Santoso.
Memoriku bak terbang ke beberapa waktu silam, momen di mana aku dan teman-temanku pertama kali bertemu Julian. Tentu saja, Nayaka yang mengenalkan kami, mengingat Julian adalah kakak tingkatnya di FISIP. Julian sempat menjadi Ketua BEM yang cukup menggegerkan–ia adalah ikon pergerakan mahasiswa, bahkan pergerakan nasional. Aku tahu ia cerdas, dan yah, menawan, tapi begitu bertemu Julian secara langsung, aku tahu mengapa ia bisa mencapai posisi itu.