Yang Hilang dari Kita

Nada Azka Maulida
Chapter #6

Bab V: Bata demi Bata


DEPOK, 2022

Saat aku pertama kali bertemu Nayaka, aku keki setengah mati padanya.  

Aku masuk ke ruangan diskusi dengan langkah cepat, tas selempang disampirkan di bahu, dan buku catatan sudah siap di tangan. Aku masih mahasiswa baru, tapi banyaknya forum diskusi yang kuhadiri memaksaku terbiasa dengan atmosfer seperti ini—suara-suara yang berdiskusi dengan nada meninggi, meja-meja yang dipenuhi gelas kopi dan botol air mineral, serta wacana-wacana besar yang ironisnya, seringkali hanya berhenti di dalam ruangan ini.

Hari ini, topiknya cukup menarik: "Peran Mahasiswa dalam Perubahan Sosial di Era Kontemporer".

Aku sudah duduk di lantai saat seorang senior mulai membuka diskusi. Pembicaraan mengalir, orang-orang bergantian menyampaikan pendapat, beberapa terlalu bertele-tele, beberapa hanya mengutip buku tanpa benar-benar memahami isinya. Aku beberapa kali menyambar, terlibat dalam argumen berputar-putar dengan mereka. Terdengar tidak berguna, tapi dialektika itu penting, bukan? 

“Menurut gue, mahasiswa bukan cuma bisa jadi agen perubahan—kita harus jadi itu. Kita nggak boleh jadi intelektual yang berdiri di menara gading, meminjam terminologi Gramsci, kita harus jadi intelektual organik. Kita bukan Messiah yang menyelamatkan rakyat, peran kita sebatas katalisator dan berjuang bersama elemen rakyat lainnya.”

Suaraku mantap, jelas, dan tegas. Beberapa orang mengangguk, setuju. 

Tapi kemudian, dari pojok ruangan, sebuah suara lain menyela. Suara yang lebih santai, lebih rendah, dan sedikit mengandung nada bosan.

"Pertanyaannya bukan harus atau nggak, tapi bisa atau nggak.”

Aku refleks menoleh ke arah suara itu. Pemuda yang barusan berbicara duduk dengan santai, tubuhnya sedikit condong ke belakang, satu lengannya bertumpu di sandaran kursi. Dia mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku, memperlihatkan pergelangan tangan yang kokoh. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan tapi dengan cara yang terlihat sengaja, dan garis rahangnya tajam, menciptakan bayangan samar di bawah lampu ruangan. Bola matanya yang sehitam obsidian menatap langsung ke arahku, ekspresinya setengah acuh, setengah menantang.

Detik itu juga, aku merasakan sesuatu yang aneh—bukan ketertarikan, tentu saja bukan. Lebih seperti… dorongan untuk membantah laki-laki ini secepat mungkin dan membuktikan superioritas argumenku.

"Apa maksud lo?" tanyaku, sedikit menyipitkan mata.

Pemuda itu menghela napas pelan, lalu menyandarkan diri ke kursinya. “Lo bilang mahasiswa harus jadi agen perubahan. Gue cuma mau mengingatkan, nggak semua orang punya kapasitas buat itu. Lo pikir kita ini siapa? Mahasiswa juga manusia biasa. Jangankan perubahan besar, ngerubah kebiasaan sendiri aja susah.” Dia mengedarkan jemarinya ke sekeliling,”Lihat, buang puntung rokok aja masih sembarangan. Gini berharap bisa mengubah negara?” 

Aku mendengus. Beberapa orang tampak tersinggung, tapi tak ada yang mengatakan apa-apa. “Jadi lo mau bilang kita nggak usah ngapa-ngapain?”

“Gue bilang,” dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya yang segelap obsidian mengunci tatapanku, “kalau lo mau berjuang, pastikan lo nggak cuma jadi orang idealis yang akhirnya kecewa sendiri.”

Kurasakan sesuatu merambat naik ke tengkukku—bukan kemarahan, tapi sesuatu yang mirip dengan itu. Aku bukan orang yang mudah dikalahkan dalam debat, apalagi oleh orang yang baru aku temui.

Tapi sebelum aku bisa membalas, moderator diskusi sudah berpindah ke orang lain.

Aku masih menatap pemuda itu, yang kini menyandarkan diri lagi ke kursinya dengan santai, seolah tidak peduli. Tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya—senyum seseorang yang tahu bahwa dia baru saja meninggalkan kesan.

“Nayaka,” 

Pemuda itu mengulurkan tangan seusai diskusi selesai dan mahasiswa lain sudah tak terlihat di sekitar gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. 

Sedikit terpaksa, aku meletakkan susu kotak yang sedang kusesap dan menyambut uluran tangannya. “Lintang.” 

“Nama yang bagus.” 

 “Makasih.”

“Boleh duduk di sini?” 

Aku mengedikkan bahu malas, menggeser sedikit posisiku di bangku kayu panjang. "Terserah."

Nayaka menjatuhkan diri ke sampingku, gerakannya santai tapi terukur. Dari dekat, aku baru benar-benar memperhatikannya—kulitnya agak pucat, rambut hitam legam yang sedikit berantakan, dan rahang tajam yang terlihat lebih tegas di bawah cahaya lampu luar gedung. Matanya gelap, tapi ada sesuatu di sana yang membuatnya sulit dibaca—tenang, tapi entah kenapa seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Seperti palung tak berujung. 

Aku mengalihkan pandangan, berpura-pura fokus pada susu kotakku dan mengisap isinya pelan-pelan. "Selain mendebat gue, lo tadi diam aja pas diskusi. Kenapa?"

Nayaka menyandarkan punggungnya ke bangku, menatap langit yang mulai gelap. "Gue lebih suka dengar dulu. Baru kalau ada yang benar-benar penting buat disampaikan, gue ngomong."

Tipikal. Sok kontemplatif. “Lo maba juga? Fakultas apa?” 

“FISIP. Ilmu Politik.” 

“Oh.” Aku menelan ludah, sedikit merasa kesal dengan fakta bahwa itu jurusan yang pernah sangat kuinginkan. “Salam kenal kalau gitu. Gue dari Filsafat.” 

Mendengar itu, sudut bibir Nayaka terangkat sedikit. “Filsafat? Pantas.” 

Lihat selengkapnya