JAKARTA. 2035
Ada sebuah eksperimen pikiran filosofis tersohor yang diperkenalkan oleh salah seorang dosenku di kelas Epistemologi–Bung Aji, begitulah kami memanggilnya–di semester awal perkuliahan. “Jika ada sebuah pohon yang tumbang di hutan, tapi tidak ada seorang pun yang mendengarnya, apakah ia bersuara?”
Pertanyaan ini bisa dikatakan bermula dari George Berkeley yang dalam karyanya, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, menuliskan, "Tetapi, katakanlah, pasti tidak ada yang lebih mudah bagi saya untuk membayangkan sebuah pohon, misalnya di taman … dan tidak seorang pun ada untuk melihatnya. Objek-objek inderawi hanya ada saat mereka dirasakan; pohon itu ada di kebun … tak lama kemudian, ketika ada seseorang untuk merasakannya.”
Aku masih ingat jelas bagaimana Bung Aji melemparkan pertanyaan itu ke udara, seolah menantang kami untuk meruntuhkan realitas yang kami anggap pasti. Segelintir mahasiswa yang tersasar ke jurusan ini menyeringai, menganggapnya sebagai teka-teki tak berguna. Sebagian lagi—termasuk aku—terdiam, membiarkan pertanyaan itu berputar di kepala seperti gema yang tak kunjung hilang.
Jika tidak ada yang mendengar pohon itu tumbang, apakah ia benar-benar bersuara? Atau lebih jauh lagi—apakah ia benar-benar tumbang? Apakah keberadaannya hanya tergantung pada kehadiran seseorang untuk mengamatinya?
Bung Aji tersenyum, seolah menikmati kebingungan kami. "Jadi," katanya, melangkah perlahan di depan kelas, "apakah kenyataan ini ada dengan sendirinya? Ataukah ia hanya ada karena kita ada untuk menyaksikannya?"
Hari ini, saat aku duduk di sudut ruangan sempit remang-remang, di sebuah bangunan yang bahkan mungkin tidak punya alamat, aku mengetahui jawabannya. Realitas bukanlah sesuatu yang pasti. Realitas adalah apa yang dituliskan, apa yang disebarkan, apa yang dipercaya orang-orang. Jika sebuah berita tidak ditulis, ia tidak pernah ada. Jika kejahatan tidak dipotret dan dibagikan, ia tidak pernah terjadi.
Sudah beberapa bulan–tiga atau empat, mungkin? Entahlah, aku kini merasa menghitung waktu adalah hal tak berguna. Kalau realitas bisa dimanipulasi dengan mudahnya, lalu apa arti ruang dan waktu? Di sini, aku jauh dari dunia yang dulu kugenggam dengan pasti. Baru kemarin rasanya aku bekerja di majalah gosip, membentuk realitas dengan kata-kata yang kutulis. Kini, aku berada di bangunan yang mungkin tak punya alamat—menelisik manuskrip dan naskah-naskah yang hilang dari peredaran, membicarakan hal-hal yang hanya nyata bagi mereka yang berani melihatnya. Di sini, kami menulis tentang pohon-pohon yang tumbang dalam gelap—dan berharap ada yang cukup berani untuk menyaksikannya.
Kelompok bawah tanah ini menyebut diri mereka dengan nama Akar Muara, beranjak dari falsafah Jawa ‘Sangkan Paraning Dumadi’--dari mana dan ke mana kita pergi. Akar Muara memiliki puluhan anggota yang tersebar di berbagai titik di Indonesia, terdiri dari akademisi, mantan aktivis, dan politikus yang membelot. Mereka semua beroperasi dalam senyap dan bayang-bayang demi satu tujuan utama: meruntuhkan tabir realitas yang dibangun Baskoro Widjatmoko dan tangan kanannya, menteri Departemen Penerangan, Aditya Kusumahadi.
“Departemen Penerangan di era Orde Baru melakukan dominasi solipsisme dengan otoritarianisme yang sifatnya materiil. Mereka membungkam, menculik, dan membunuh aktivis, melarang penyebaran buku. Departemen Penerangan di tangan Aditya berbeda,” suatu hari, Mahesa bercerita tatkala menunjuk papan dengan potret seorang pria paruh baya berkacamata dan berkumis tipis. Wajahnya entah kenapa tampak familiar.
“Kamu mengenalinya?” tebak Mahesa, seolah tahu isi pikiranku.
Aku mengangguk. “Aku seperti pernah melihatnya entah di mana. Mungkin di berita atau reklame?”
Mahesa menggeleng. “Kamu melihatnya lebih dulu daripada itu. Dia seorang ahli filsafat terkemuka sekelas Martin Suryajaya atau bahkan Romo Magnis Suseno. Sayangnya, ia justru memanfaatkan pengetahuannya dengan membelot dari kebijakan dan kebajikan, mengabdikan diri pada Baskoro. Dengan pengetahuan dan kuasa, Departemen Penerangan memulai proyek dominasi solipsisme besar-besaran. Manipulasi realitas skala raksasa yang menimpa seluruh negeri.”
Aku menatap potret Aditya Kusumahadi di papan, pria dengan tatapan tajam yang seolah menantang siapa pun yang berusaha memahami pikirannya. Pada masa Orde Baru, Departemen Penerangan hanya sekadar alat propaganda. Kini, mereka lebih dari itu—mereka adalah arsitek kenyataan.
"Bagaimana tepatnya mereka mengendalikan realitas? Cuci otak? Sensor berita?" tanyaku, mencoba mencari pegangan dalam pusaran konsep yang semakin besar.
"Lebih dari itu," sela Rani yang baru masuk ruangan, meletakkan setumpuk dokumen ke meja. "Mereka tidak hanya menghapus kenyataan yang tidak mereka suka–seperti melalui kata-kata. Mereka menggantinya dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih menguntungkan mereka."