Seorang mahasiswi datang dengan baju yang hampir basah seluruhnya. Ia langsung masuk dan duduk di kursi pertama menghadap ke komputer yang masih menyala dan mencolokkan diska lepas. Sekitar tiga menit lamanya, ia lalu berdiri menghadapku dan memberikan uang lima ribu rupiah. Hujan masih rintik-rintik di luar, ia tetap melangkah pergi juga. Hanya sesebentar itu ia singgah lalu pergi lagi. Sesebentar itu, padahal kupikir ia akan duduk menunggu sampai hujannya reda.
Saat ia menyorongkan uangnya, sungguh ada kalimat yang ingin kukatakan padanya. Untuk apa buru-buru? Tapi ia sudah pergi. Aku sudah tidak punya kesempatan untuk mengucapkan apa yang ada di dalam kepalaku barusan. Mungkin pula, ini adalah pertemuan pertama dan terakhir kami, siapa yang tahu?
Sampai saat ini, aku masih memikirkan keadaan itu. Ada berapa banyak kejadian, ada kata yang terungkapkan padahal kata itu sudah siap melompat keluar, tapi ia tertahan mungkin di antara gigi-gigi atau di antara ludah-ludah. Sebaliknya, ada berapa banyak kata yang seharusnya tidak keluar dari mulut-mulut orang, tapi kata itu justru keluar bahkan si pemilik kata baru menyadarinya saat kalimat itu menggaungkan dirinya. Sudah terlambat, beberapa orang tersakiti, beberapa orang memilih tidak peduli, beberapa orang memilih melupakan, beberapa orang memilih memendamnya.
Aku kembali ke halaman buku yang sedang kubaca. Dari tadi aku masih terus berada di halaman ini. Kata-katanya tidaklah sulit untuk kupahami. Ia termasuk ringan, tidak akan membuatku mengecek KBBI online yang ada di ponsel atau membuat dahiku mengernyit. Akan tetapi, aku masih di halaman ini, telingaku masih awas mendengar rintik hujan, mataku sesekali memandang ke luar. Tidak banyak orang yang melintas hari ini apalagi singgah. Tidak banyak di sini itu maksudku tidak sebanyak kemarin karena kemarin ada lima belas orang yang melintas. Mungkin karena hujan atau mungkin oleh sebab-sebab lain yang aku luput menyadarinya.
“Hei!”
“Hei juga.”
Nina tetangga di sebelah, seorang gadis penjual gamis dan jilbab dan pernak-perniknya yang tidak aku tahu apa saja sebutannya berkunjung lagi seperti biasa, masih tanpa memakai masker. Aku menggelengkan kepala melihatnya dan ia tersenyum menanggapiku. “Dekat kok,” katanya. Lalu aku melihat jam di ponsel, ini memang jam-jam kosong bagi kami. Hampir tidak ada pelanggan yang datang, sehingga kami pun kadang bingung harus melakukan apa. Beberapa orang dari kami menggunakannya sebagai waktu kunjung-mengungjungi, waktu meledek, waktu bergosip atau waktunya mengemil.