Ini mengerikan. Sekarang tanggal dua Oktober dan aku sudah mendapat pertanyaan, "Jadi, kamu masih belum pengen nikah?" dari ibuku. Wanita itu sebenarnya sudah lama tidak membahas hal ini. Sejak aku dengan wajah marah dan kesal mengultimatum dia dengan ucapan, "Sebelum Mama ke psikolog dan aku dapat kerja, kita nggak akan bahas tentang pernikahan."
Sayangnya, aku tidak mengatakan itu pada ayah. Karena hari ini, wanita tua dengan banyak uban di kepalanya yang bahkan belum genap berusia lima puluh dua tahun itu berbicara atas nama ayah. "Papa udah nggak sabar punya cucu. Dia bahkan udah sering nanya ke temennya yang punya anak laki-laki. Saking pengennya." Sial! Kenapa mereka seolah tidak puas hanya dengan kehadiranku di rumah?
Aku hanya diam. Tidak ingin kembali marah atau menangis ketika hal yang paling memuakkan di dunia ini diungkit. Menikah. Jangan salah paham dulu. Aku tidak benci menikah. Pun aku sudah melihat banyak pernikahan dalam hidupku yang bahagia. Contohnya, pernikahan kedua orang tuaku. Saat aku duduk di kelas 6 SD, kami bahkan mendapat penghargaan keluarga harmonis tingkat kota. Kurang bahagia apa? Tapi, bukan itu yang membuatku berpikir topik pernikahan itu memuakkan.
"Mama nggak mau kamu marah lagi dan malah diemin Mama sepanjang hari," katanya dengan suara takut-takut--sebuah akibat dari aku marah-marah tahun lalu. Anggaplah aku durhaka membuat seorang ibu yang hanya ingin anaknya menikah menjadi terluka. Tapi, aku juga sedang berusaha melindungi hatiku. Salahkah?
"Bulan ini kamu udah dua puluh enam tahun. Udah sepantasnya menikah," katanya lagi.
Siapa bilang pantas? Ketika aku merasa tidak cukup untuk diriku sendiri, apakah aku pantas menikah? Ketika saldo di rekeningku tidak pernah lebih dari lima puluh ribu, apakah aku sudah punya bekal untuk menikah? Ketika aku selalu jengkel dengan suara napas orang ketika tidur di sebelahku, apakah aku sudah pantas untuk berbagi ranjang dengan orang lain? Aku bahkan jauh dari kata pantas. Dan seenaknya dunia menilai seorang gadis dua puluh enam tahun sudah sepantasnya menikah. Pantas darimananya?
Aku masih bungkam, memainkan piring bekas donat yang hanya tersisa beberapa mises yang jatuh dari kudapan itu. Kutatap ibu dengan pandangan yang sebisa mungkin tidak mengabur. Kucoba terus atur napas agar semua pertanyaan yang jika keluar akan dianggap sebagai pembangkangan itu tidak keluar.
Detik demi detik terlewati dalam hening di ruang tengah itu. Aku sedikit menyesal kenapa tadi mau-mau saja diajak mengunyah donat di ruang tengah di saat aku baru saja selesai makan seporsi bakmi dengan topping pangsit kukus. Jika aku menolak, mungkin suasana hatiku tidak akan seburuk ini dan aku akan tenggelam dalam dunia alternate universe yang belum tamat kubaca.
"Kamu nggak lihat papa seneng banget waktu main sama Sherin?" ucap Ibu menyebut nama salah satu keponakanku. Sherin adalah bocah berumur dua tahun, anak kakak sepupuku. Kami tinggal berdekatan dan saat kakakku bekerja, aku yang menjaga bocah itu. Jadi, Sherin sering bermain di rumahku dan bertemu dengan ayah.