Pria yang pertama kutemui, namanya Jaeni. Tubuhnya terlalu jangkung untuk jalan bersisian denganku, dia sering kali menunduk sehingga tubuhnya sedikit bungkuk. Dia beberapa kali berbisik di sepanjang perjalanan kita dari lobi mal menuju bioskop yang ada di lantai teratas. "Kalau aku sih malu punya paha gede tapi malah pakai legging gitu," katanya menuding seorang perempuan yang sedang mengantre di depan lift sambil sibuk dengan ponselnya.
Aku hanya diam dan mengangguk. Beruntung kami tidak ke mal saat weekend, tidak banyak orang yang harus dikomentarinya. Tidak hanya pakaian, tapi juga cara berbicara orang-orang.
"Kalau emang nggak bisa pakai lo-gue, mending pakai aku-kamu aja nggak, sih? Jadinya malah maksa gitu," komentarnya lagi saat kami mendengar seorang laki-laki yang sedang menelpon dengan logat daerah yang khas.
Langkahku semakin cepat, bukan karena kebelet ingin ke toilet atau hanya sekadar berfoto di cermin besar yang ada di toilet sebagai kenang-kenangan first dateku dengan dia, tapi karena aku ingin semakin cepat sampai di bioskop dan menonton film. Setidaknya dia akan berhenti mengomentari orang.
"Oh iya, aku baca novel kamu," kata pria dengan rambut yang dicat blonde itu. "Menurutku konfliknya kurang dan agak nanggung. Kamu bikin karakter cowoknya kelihatan lemah banget."
Ah, akhirnya ada topik yang menarik untuk kubahas dengannya. "Oh iya? Kenapa kamu mikir karakter cowoknya terlalu lemah?" tanyaku. Aku merasa senang saat seseorang memberi masukan pada karyaku, itu bisa jadi evaluasiku untuk karya selanjutnya.
Kami terus berjalan menuju lantai teratas, melewati tenant D'Crepes yang aroma makanannya sangat menggoda. Aku ingin memesan salah satu yang ada di menu itu nanti. Aroma manis dan hangat selalu membuat kantongku nyaris kering.
"Ya masa kamu bikin si cowoknya nggak kerja dan ngurus rumah? Sedangkan si ceweknya malah kerja. Kebalik dong, itu seharusnya si cewek yang ngurus rumah, ngurus anak, bukannya malah si cowok. Tapi, aku setuju banget sama adegan waktu ibu si cowok datang ke rumah mereka dan bilang kalau yang ngurus rumah itu si cewek, bukan malah anaknya," katanya mulai berkomentar.
Aku cukup terkesima saat dia mengingat bahkan pada bagian detail dari novel rumah tangga yang aku tulis. Beberapa temanku malah tidak sanggup membaca hingga selesai karena alur yang terlalu mainstream dan drama rumah tangga yang tidak relate dengan mereka.
"Tapi, kan, si cowoknya memang susah cari kerja karena mereka tinggal di kota sedangkan dia jurusannya pertanian. Sedangkan istrinya kerja di bagian finance karena dia jurusan akuntansi. Jadi, secara logika, istrinya lebih punya peluang untuk kerja sesuai sama jurusannya. Terus, yang si mertua itu, seharusnya bukannya dia sadar kalau tugas jagain rumah dan anak itu tugasnya suami dan istri, ya?" debatku.
Jaeni menggelengkan kepalanya dengan keras. Dia melangkah dengan cukup lebar, lengan kaki panjangnya itu bisa menciptakan dua langkah kakiku. "Nggak dong. Kan kodratnya udah begitu. urusan dapur, sumur, ranjang, itu mah tugas istri," ucapnya enteng.