Kadang, mimpi terasa sangat nyata hingga sulit membedakannya dengan kenyataan yang sebenarnya. Kadang kamu berharap tidak pernah bangun, sebab terlalu takut melanjutkan hidup dengan alur yang berantakan. Namun, terjebak dalam mimpi tidak selalu baik. Terutama saat aku memimpikan kenangan dengan orang yang telah tiada, yang kepergiannya telah mengacaukan segala hal termasuk rancangan-rancangan indah yang meski tidak tertulis, semua harapanku kugantungkan di sana.
“Kamu akan terbiasa ….”
Kuberanikan memutar kepala ke arah yang biasanya diisi oleh sosok itu, di sudut kosong, yang berusaha kutambahkan dengan bayangan samar masa lalu. Lalu meyakinkan diri sendiri bahwa keadaan masih sama.
“Jika kamu tidak mengganti warnanya tiap bulan, itu mungkin saja terjadi.”
Kalimat yang pernah terucap dari bibirku di pagi hari yang sama cerahnya dengan pagi ini … Beberapa tahun lalu.
“Aku tidak ingin kamu bosan melihatku, dan rambutku mustahil berganti model potongan karena butuh waktu lama untuk memanjang.”
“Maksudmu, ini sebuah pengorbanan?”
Bayangannya menghilang sebelum aku berhasil mendapatkan jawaban. Aku memutar kepala ke arah pintu. Rupanya ia di sana, dengan rambut hitam aslinya. Sayang, itu terlalu singkat hingga memicu rasa kecewa yang amat besar.
"Bengkok. Salah satu alat dalam dunia medis. Pernah lihat?"
Seolah mendengar suara sendiri dalam kepala. Lalu di hadapanku, cowok itu mengangkat kedua alis, membuat mata sipitnya jadi agak bulat.
"Ada?”
"Benda yang banyak kegunaannya, aku cukup terkejut melihat benda itu dipakai menampung urine saat pasien persalinan pasang kateter sementara. Kau tahu, bentuknya mirip lambung. Tidak lurus."
"Kamu.” Dia terkekeh.
"Lainnn. Tahu nearbek?” Apakah saat itu aku sedang berusaha tampak imut? Tawanya berganti senyuman tipis.
"Tapi itu kayak kamu, Dev. Tidak pernah berada di jalur yang lurus."
Pelupuk mataku perlahan dipenuhi air. Bibirku bergerak mengikuti suara yang terdengar selanjutnya. "Dalam hal apa?”
"Dalam semua kesempatan,” bisiknya. Bisikan terakhir sebelum bumi menyembunyikannya dengan alasan ‘yang bernyawa pasti kembali jadi tanah’.
Kenapa dia masih tidak jelas setelah aku mengusap air mataku?
***
Biasanya aku akan langsung mengumpat jika bertemu Bu Sukma. Kedatangannya selalu dibarengi tujuan mulia menagih utang. Sore ini, aku sendiri yang datang ke sana. Ia melongo saat kukeluarkan uang lima puluh ribu dari saku celana olah ragaku. Satu kepalan tangan mungkin muat dijejalkan ke dalam mulutnya.
"Pulsa tiga lima, kan?"
Bu Sukma mengangguk. Uang lima puluh ribu tadi diangkat tinggi-tinggi mengarah ke sumber cahaya paling terang (baca:matahari).
"Itu asli, Bu."
"Hehe." Bu Sukma meraba-raba uang itu dengan penuh pengkhayatan.
"Sini sini. Saya ganti ke tukang becak di sana."
"Asli."
Aku mendengus. Tidak ingatkah ibu-ibu berdaster itu saat dirinya menagih utang padaku?
"Mau robek atau basah, yang penting uang. Kena kecap atau tai, tidak akan mengurangi nilainya."
Waktu itu, langsung kuberikan uang terakhirku bulan lalu yang penuh plester bening. Tehnik perabaan tidak mempan untuk mengecek keasliannya karena rasanya seperti menyentuh plastik.
"Buru-buru sekali bayar utang. Mau pergi ke mana?"
"Mau pulang." Ke akhirat. Aku mendengus sebal. Harusnya aku sudah sampai tapi gara-gara utang pulsa padanya, perjalananku terhambat.
"Lagi libur? Baliknya kapan?"