Setahun Yang Lalu - Wira
Tiga hari berlalu sejak pemakaman anak saya. Keluarga saya tampaknya belum bisa benar-benar melepasnya. Lusi masih bersedih setiap pagi dan malam meski kini ia tak lagi menangis, ia hanya terisak sesekali. Sementara itu, Kay, ia sangat murung, terakhir saya mendapati dirinya tengah melamun di meja makan. Ia bahkan tak menyadari keberadaan saya ketika saya berjalan di dekatnya. Selama ini kami bertiga hanya berkumpul setiap makan malam. Semua makanan dipesan karena Lusi belum sanggup memasak lagi. Kami bertiga selalu makan dalam hening. Padahal, biasanya Kay dan Kyo mengobrol dengan Lusi. Ketika obrolan mereka semakitn hangat dan keras, saya akan menggerutu bahwa ini adalah waktunya makan malam dan bukannya waktu mengobrol. Mereka lalu akan diam sampai makan malam selesai. Ada kepuasan batin ketika saya memarahi mereka.
Tapi kini semua itu tak ada lagi.
Saya sendiri kini lebih banyak mengunci diri di kamar Kyo. Tak ada yang berani mengganggu saya ketika saya di sana.
Kamar anak saya tidak terlalu luas. Tiga dari empat dindingnya dipasangi lemari permanen untuk buku-bukunya. Ia senang membaca, terutama sastra. Ia menyelesaikan Moby-Dick di usianya yang masih tiga belas tahun. Ia juga suka menulis, ia membuat artikel tentang Animal Farm di kelas dua SMP. Dia suka menumpuk buku-buku yang akan atau tengah ia baca di atas meja belajarnya. Saya lihat, akhir-akhir ini ia sedang membaca karya-karya Haruki Murakami dan buku puisi Khaled Hosseini.
Sejujurnya, saya tidak mendukungnya di bidang literatur. Saya suka dengan data-data, dan seperti kebanyakan seorang bapak, ingin anaknya juga menyukai hal yang sama. Meski ia tak suka dengan angka-angka, namun nilai-nilainya dalam pelajaran eksak sangat menonjol, lebih daripada adiknya. Saya bersikeras agar ia mengambil kuliah Matematika atau Ekonomi. Tapi ia sudah bertekad untuk mengambil jurusan Sastra atau Seni.