PUKUL satu dini hari. Naru selesai dari pesta kecilnya bersama geng motor jalanan. Dia telah puas melakukan pertandingan balap motor yang selalu dia menangkan dari Reza. Walaupun sebenarnya Naru masih ingin bersama mereka. Namun dia tak bisa menghiraukan tubuhnya yang kini sudah di puncak kelelahan. Naru memutuskan untuk pulang. Bukan pulang ke rumah istananya tentunya.
15 menit waktu yang dia butuhkan untuk tetap terjaga melewati jalanan lengang di tengah hutan. Ketika akhirnya Naru menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang sepi. Rumah itu terbuat dari kayu di setiap dindingnya. Walaupun begitu rumah yang terdiri dari dua lantai itu terlihat besar, luas dan kokoh. Di kanan kiri dan belakang rumah tumbuh pepohonan rimbun yang mengelilingi rumah di tengah hutan itu.
Lampu lima watt yang terpasang di bawah pintu masuk rumah telah menyambutnya. Naru membuka pintu menggunakan kunci yang tergantung menyatu dengan kunci motornya. Tidak sabar ingin segera merebahkan tubuhnya.
“Astaga! Johni! Kau mengagetkanku! Kenapa kau hanya diam saja ketika aku masuk!?” Teriak Naru kesal melihat sosok Johni yang sedang duduk di sofa menghadap pintu masuk. Hanya cahaya senter dari tablet canggihnya yang menyorot ke arah wajahnya.
“Lagi pula kenapa lampunya kau matikan? Apakah kau masih bisa membacanya di kegelapan?" Lanjut Naru berteriak. Dia masih kesal. Johni hanya menaikkan bahu dengan menyunggingkan giginya.
Naru langsung merebahkan diri di atas sofa empuk di depan Johni. Melempar tas ranselnya di sembarang tempat. Kedua kakinya dia naikkan ke atas meja. Sungguh suatu posisi yang nyaman. Johni hanya tersenyum tak bersalah seraya meletakkan buku yang telah dia pegang beberapa jam yang lalu.
“Tumben sekali kau datang selarut ini ke Rumah Singgah. Tunggu. Ada apa dengan penampilanmu itu? Kau terlihat sangat kacau.” Johni yang peka langsung mencecar Naru dengan berbagai pertanyaan. Naru hanya memutarkan kedua matanya tak berselera.
“Ini tidak penting. Seharusnya akulah yang bertanya padamu. Kenapa seorang Johni berada di Rumah Singgah sendirian di tengah malam begini? Ini bukanlah kamu yang biasanya. Apakah telah terjadi sesuatu?” Tanya Naru mengalihkan pembicaraan.
“Aku akan jawab setelah kau menjelaskan penampilanmu yang penuh luka itu. Apakah kau berkelahi?” Naru menghela napas panjang. Lebih tepatnya kesal. Dia meremas rambutnya yang basah oleh keringat bercampur debu. Situasi itu tidak akan berakhir jika tidak ada yang mengakhiri. Naru menyerah. Dia terlalu lelah untuk berdebat. Tapi tidak untuk menjawab.
“Aku mau mandi dulu.” Seru Naru beranjak dari sofa. Johni ikut berdiri.
“Aku hanya butuh tempat untuk sendiri. Rumah Singgahlah tempat yang tepat untukku saat ini. Kau tahu kan jika orang tuaku-”
“Iya. Aku tahu. Jadi nikmati saja waktumu disini sesuka hati. Tak perlu juga kau menjawab pertanyaanku.” Potong Naru. Johni hanya tersenyum mendengarnya. Naru sudah tahu apa tujuannya berada di Rumah Singgah walaupun sudah selarut ini.
Naru memandang Johni yang justru kini tak berhenti menatapnya. Dia menginginkan sebuah jawaban yang bisa memuaskan pertanyaannya yang belum terjawab. Naru kembali memutarkan kedua matanya. Tidak ada cara lain selain menurutinya.
“Kau tahu cowok berpakaian aneh di sekolah yang akhir-akhir ini membuatku kesal kan?” Naru kembali merebahkan diri di atas sofa. Johni mengangguk mengiyakan.