RUANGAN bernuansa putih keemasan dengan corak gradasi bunga mewah itu terasa hening. Naru memandang satu per satu orang yang ada di hadapannya dengan menelan ludah beberapa kali. Dia siap dengan risiko yang akan dia hadapi setelah ini.
Setelah Naru menghirup udara dan mengeluarkannya pelan. Kini Naru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia berusaha terlihat sesantai mungkin.
“Ya. Ini adalah rumahku. Jadi jangan heran kalau kalian melihatku berada disini. Sudah selesai kan?” Seru Naru membuat semua orang menghela napas bersamaan. Bukan karena lega telah mengetahui kebenaran itu. Melainkan karena sikapnya yang terlihat tak bersalah itulah yang membuat mereka semua merasa kesal dibuatnya.
“Menurutmu ini akan selesai begitu saja setelah kau berbohong pada kami? Berbohong mengenai identitasmu?!” Tara maju mendekat.
“Apakah pertemanan kita selama hampir tiga tahun bersama dengan Geng Perfect membuatmu tega menyembunyikan kebenaran ini? Kau tahu? Jika sejak awal kami tahu bahwa kau memiliki rumah mewah bak istana seperti ini. Kami pasti tidak akan bosan hanya bermain ke Rumah Singgah saja.” Balas Dion tak mau kalah. Semua orang memandang meh ke arahnya. Dion hanya menaikkan bahu.
Dia justru terlihat senang dengan melihat ke seluruh ruangan itu dengan mata berbinar. Leon langsung menyikut lengannya pertanda untuk bersikap seperti rencana mereka. Pura-pura marah.
“Ya. Setidaknya kau tak harus berbohong dengan menyembunyikan nama aslimu kan, Aru.” Kata Leon membuat semua orang kini beralih memandang ke arahnya. Terutama Eri yang terlihat lebih syok dari pada anggota Geng Perfect.
“Ya. Ya. Ya. Jadi, sekarang kalian sudah tahu kan? Maka semua masalahnya sudah selesai.” Seru Naru. Semua anggota Geng Perfect menyerbunya dengan jitakan, cubitan, hingga sikutan dari mereka. Membuat Naru tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berusaha menghindar dengan menahan rasa sakit.
“Kenapa mulutmu mudah sekali mengeluarkan kata-kata menyebalkan sih!” Keluh Tara yang paling kuat menekan kepala Naru dan menjitaknya tanpa ampun.
“Aku benar-benar kecewa! Kenapa tidak sejak dulu kau mengajak kami ke rumahmu ini! Pasti masih banyak fasilitas mewah lainnya yang kau sembunyikan agar tidak bisa kita gunakan kan!? Ayo katakan!?” Dion tak mau kalah dengan merangkul lengan Naru dan merengek manja.
“Cukup. Hentikan tingkah kekanakan kalian. Kalian bisa melanjutkannya nanti setelah Naru memberitahu secara jelas rencananya. Bukan begitu, Aru?” Johni membuat semua orang beralih memandang ke arahnya. Tak terkecuali Naru. Dia memandang penuh kekesalan pada Johni. Semua ini berawal dari kemarin malam.
Pukul dua dini hari di Rumah Singgah…
“Uwaaah! Segar sekali mandi di tengah malam begini. Rasanya tubuhku kembali hidup.” Pekik Naru yang baru saja keluar dari kamar mandi. Berjalan dan bersandar di balkon tangga lantai dua. Memandang ke arah Johni yang masih setia dengan buku di tangannya.
“Kata-katamu seolah kau baru saja pulang dari pertempuran. Apa kau tahu jika mandi di tengah malam begini itu tidak baik?” Seru Johni. Naru menaikkan bahu. Menghiraukan. Berjalan menuruni tangga. Duduk di sofa seraya mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk.
“Pertanyaanmu tentang apakah perempuan dan laki-laki yang berduaan itu tidak boleh menurut Islam itu disebut dengan khalwat. Maknanya memiliki arti menyepi, menyendiri, mengasingkan diri bersama dengan seseorang tanpa adanya orang lain di antara mereka.
Singkatnya adalah interaksi antara sesama manusia yang dibatasi oleh status, laki-laki dan perempuan yang saling berhubungan. Islam melarangnya karena itu bisa menimbulkan fitnah.” Kata Johni tiba-tiba. Dia terlihat menutup tablet di tangannya.
“Wow! Aku baru tahu jika perbuatan itu tidak boleh dalam agama Islam. Jadi, selama ini aku telah ber-khalwat di sekolah?” Seru Naru terlihat panik.
“Apakah itu berdosa? Eh, tunggu dulu. Apa itu dosa? Aku rasa memiliki makna yang tidak baik.” Lanjut Naru memandang Johni dengan tatapan penuh harap. Johni terlihat menghela napas seraya membuka tabletnya lagi.