PUKUL sembilan malam. Geng Perfect terlihat sibuk merebahkan tubuh mereka di berbagai tempat. Dion yang sudah pulas tertidur di sofa empuk dengan buku-buku bertebaran di sekitarnya. Leon yang terduduk di karpet hangat dengan kepala yang dia tidurkan di atas meja.
Tara yang tak sadar jika suara mengoroknya menggema di ruangan besar itu dengan tubuh terlentang di samping Dion. Sedangkan Johni baru saja selesai berkutat dengan tabletnya. Meregangkan tubuh untuk sekadar melepas lelah.
Naru terlihat turun dari tangga lantai dua. Mengusap-usapkan handuk kecil di rambutnya yang terlihat basah.
“Ucapannya benar sebelum dia pulang bukan? Jika niat baik maka Tuhan pun akan memudahkan jalan untuk itu. Walaupun sempat tertunda. Kita masih bisa mengaji bersamanya di Rumah Singgah.” Seru Johni berdiri. Kembali meregangkan tubuhnya yang kaku.
“Apa yang mau kau katakan Johni?” Tanya Naru tak mengerti.
“Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir sampai kapan kita akan diam-diam begini. Apakah untuk sementara kita akan terus mengaji di Rumah Singgah?” Mendengarnya, Wajah Naru terlihat gelisah.
“Maaf jika membuat kalian susah. Ini di luar jangkauanku. Aku akan memastikannya setelah Pak Yus selesai mengantar Eri pulang. Aku akan pulang dan memastikannya.” Jawab Naru terdengar ragu.
“Kau menyukainya, benar kan?” Tanya Johni tiba-tiba membuat Naru mendadak terdiam. Namun setelah itu dia menghela napas panjang.
“Ya. Tentu saja. Sudah terlihat jelas di wajahnya sejak dia menanyakan keberadaan gadis berkerudung itu sejak pertama mengenalnya dulu.” Suara Tara terdengar mendahului. Dia terlihat bangun dengan mengulet seperti kucing. Naru mendelikkan matanya.
“Haaaahhhh! Masa-masa SMA ya. Beginikah rasanya jatuh cinta?” Seru Dion menguap dan mengucek kedua matanya. Raut wajahnya benar-benar terlihat tanpa dosa.
“Mulut kalian ini memang tidak bisa ya mengeluarkan kata-kata yang membuat tanganku ingin sekali meninju. Jangan bicara seenaknya saja dong!” Sanggah Naru terlihat kesal. Namun, entah kenapa kedua pipinya terlihat memerah.
“Jika kau mengelak. Itu artinya benar bukan?” Jawab dan tanya Johni. Benar.
“Kalian tahu kan. Saat pertama kali mendengar suaranya yang mengaji setiap pagi di sekolah itu sangat mengganggu. Tapi entah kenapa suara yang mengganggu itu membuat perasaanku jadi merasa aneh.
Aku merasa tenang. Tapi disisi lain sesuatu yang kosong dan kurang dalam diriku. Bukankah aku pernah bertanya pada kalian? Selama ini aku berpikir aku hidup dengan kesempurnaan yang orang lain tak punya. Tapi, aku salah, ada yang salah dengan diriku selama ini.
Semua pelajaran hingga pengetahuan apapun telah aku terima sejak kecil. Tapi agama Islam yang sering aku dengar sejak bersekolah di tempat formal dan mengenal kalian sama sekali tak aku ketahui. Aku semakin penasaran.
Aku tak tahu kalau selama ini bahkan mungkin seumur hidupku. Aku tak tahu agama apa yang aku dan kedua orang tuaku anut. Mereka tak pernah mengajariku. Lalu aku mendengar suara indah itu untuk pertama kalinya.” Cerita Naru membuat anggota Geng Perfect benar-benar terbangun. Bahkan kini Leon terlihat duduk di sofa seraya menenggak air di atas meja. Kembali merapikan pakaiannya yang berantakan.
“Aku akui ketika mendengar ada siswa yang lebih idola dari pada aku. Aku langsung marah. Aku tak mengakuinya. Tapi, lihatlah kedatangannya itu justru perlahan merubah suasana sekolah. Ruang hampa yang selama ini berada di pikiran dan hati terasa telah pergi dan terisi kembali.
Aku seperti mengingkari diri sendiri ketika berkata aku benci dan tak suka mendengar suara mengajinya itu. Dan mengetahui bahwa dia tak muncul lagi di sekolah. Aku mencarinya. Diam-diam akupun merindukan suara merdu mengajinya.”
Naru tak peduli apakah ucapannya itu terlalu berlebihan atau mungkin terdengar lebay. Dia juga tak peduli anggota Geng Perfect yang kini terlihat menahan tawa mendengar kata-katanya.